Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Made Gede Arthadana, S.H., M.H.

Desa adat dan atau disebut juga dalam istilah lain yaitu desa pakraman memiliki peranan penting dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari penjajahan. Namun, penjajahan yang dimaksud di sini adalah penjajahan secara langsung oleh orang-orang asli bangsa Indonesia yang memiliki kepentingan dalam stigma negatif.

Mengapa dalam hal ini penulis tertarik untuk mengangkat tema pembaruan awig-awig? Karena penulis menilai dan meyakini bahwa masih terdapat beberapa desa pakraman di Bali yang awig-awignya hanya sebagai manifestasi dalam hal eksistensi suatu desa pakraman.

Apabila ditelisik seharusnya desa pakraman dengan seluruh komponen masyarakatnya mampu secara maksimal memperbarui tatanan dari awig-awig tersebut. Tentunya desa pakraman tidak mau tergerus begitu saja oleh kemajuan teknologi yang berkembang pesat pada era globalisasi ini dan harus mampu memanfaatkan sistem digital tersebut untuk kemajuan masyarakat desa pakraman.

Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 amandemen ke-4 telah jelas menyebutkan bahwa “negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Perlu digarisbawahi kata-kata “sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia” tersebut dengan contoh globalisasi masuk desa yaitu taxi online di setiap daerah pariwisata suatu desa pakraman masih banyak melarang munculnya kendaraan online tersebut. Padahal jika dicermati sebenarnya hal ini sangat baik untuk masyarakat yang dari gagap teknologi menjadi melek teknologi, namun tentunya sudah pasti dalam regulasi ini yang seharusnya pemerintah perhatikan mengingat Bali adalah daerah pariwisata.

Bagaimana aparat desa dari pemerintah daerah, pemerintah kabupaten/kota, MUDP, bendesa adat, sampai klian adat nantinya bisa merumuskan hal-hal yang mampu meningkatkan kesejahteraan usaha krama desa ke dalam rancangan awig-awig baru. Jadi, awig-awig hadir untuk memberikan kesejahteraan bagi krama setempat sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila. aka dari itu, dapat penulis simpulkan bahwa hendaknya tidak hanya warga kota yang harus mampu memanfaatkan teknologi namun warga sampai pelosok desa pun juga harus mampu memanfaatkan teknologi agar tidak tergerus di era globalisasi saat ini.

Baca juga:  Ratusan Desa Adat di Badung Bahas Perarem Narkoba

Kemudian terkait dengan pembaruan awig-awig ini perlu juga memerhatikan dari rumusan kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa dari sila ke-1 sampai dengan sila ke-5, dan pembaruan awig-awig ini harus memerhatikan hak dan kewajiban masyarakat adatnya. Misalnya, dari adanya narkoba mulai masuk desa, teroris masuk desa, dll. Siapakah yang bisa mengetahui bahwa ada narkoba di desa pakraman tersebut? Apakah semua masyarakat desa pakraman sudah mengetahui bentuk dari narkoba dan sungguh luar biasa bahayanya mengonsumsi narkoba dan juga memasarkannya di masyarakat.

Kejadian seperti ini yang perlu diperbarui dalam penyusunan awig-awig untuk kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat, walau dalam kenyataannya yang berperan memberantas narkoba dan teroris adalah dari pihak kepolisian dan TNI, namun dengan adanya pengaturan di dalam awig-awig ini dapat secara maksimal membantu tugas dari pihak kepolisian dan TNI.

Pembaruan awig-awig juga perlu diperhatikan khususnya dalam hal perkawinan, perceraian (mulih daha), pembagian hak waris, hak asuh anak, penyelesaian sengketa. Mengapa? Hal ini secara adat belum ada pengaturannya yang disahkan oleh lembaga yang berwenang yaitu legislatif. Hukum adat itu adalah hukum yang tidak tertulis, apabila ada yang tertulis yaitu di atas daun lontar yang masih berlaku hingga saat ini dan awig-awig namun itu semua bukan termasuk hukum positif.

Hakim pun dalam memberikan putusannya pada kasus-kasus adat akan selalu berpedoman pada KUHP dan UU Kehakiman, namun apabila dalam hukum positif seperti KUHP tidak ada pengaturannya, hakim dapat menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat karena disebut adalah hakim corong undang-undang yang dianggap tahu hukum. Ketika semua itu dilakukan oleh hakim dan kemudian akan memberikan putusan, dapatkah putusan hakim itu memenuhi tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Oleh karena itu, dapat meminimalisasi disparitas putusan hakim suatu saat nanti.

Baca juga:  Menjaga Warisan Ekonomi Kebudayaan Bali

Suatu perkawinan adat di Bali sebagai contoh saat terjadinya kasus-kasus tertentu seperti perkawinan sentana dan atau perkawinan pada gelahang yang dalam sistem kekerabatan di Bali menganut sistem patrilineal atau kewarisan dari keturunan laki-laki dan ketika dari kedua perkawinan ini dilakukan akan menjadi polemik di dalam rumah tangga tersebut. Ini dikarenakan dalam UU No. 1 tahun 1974 tidak diatur tentang keduanya dari jenis perkawinan ini terutama dalam hal waris dan hak asuh anak apalagi tentang mulih daha.

Mengenai janda atau duda yang mulih daha pun juga tidak luput dalam permasalahan ini, karena dalam awig-awig belum mengatur hal yang demikian sehingga akan menjadi rancu apabila nantinya ada peneliti datang ke suatu desa pakraman tersebut untuk menanyakan hal-hal seperti ini namun desa pakraman melalui awig-awignya tidak mengatur dan setelah janda atau duda mulih daha ini kembali ke rumah bajang-nya dan apakah mereka berhak menjadi hak waris di rumahnya? Perlu kajian yang lebih mendalam untuk dijadikan ke dalam suatu topik penelitian.

Berbekal pengetahuan akademisi yang penulis ketahui seharusnya hukum itu adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam hal ini tujuan untuk dapat menyejahterakan masyarakatnya ketika ada kasus-kasus yang ada namun belum ada pengaturannya secara tertulis. Dalam ilmu hukum dikenal dengan adanya teori paksaan (dwangs theory) yang mengatakan agar terjaga ketertiban, ketenteraman, ketenangan, dan kedamaian dalam masyarakat serta untuk melindungi hak-hak anggota masyarakat dari pelaku kejahatan, maka para pimpinan masyarakat harus bertindak tegas.

Baca juga:  Semua Pihak Mestinya Hormati Desa Pakraman

Dalam hal ini, para aparatur desa pakraman atau tetua adatlah seharusnya yang menjadi pedoman dalam memberikan saran kepada keluarga untuk dapat menyelesaikan permasalahannya. Kemudian, hal ini juga didukung oleh teori kedaulatan Tuhan yang mengatakan hukum wajib ditaati karena hukum adalah perintah Tuhan. Hal ini berkaitan juga dengan teori keseimbangan kosmis dimana hukum adat memegang teguh keyakinan terhadap keseimbangan alam nyata dan tidak nyata. Untuk itu, falsafah Tri Hita Karana wajib dipegang teguh oleh subjek hukum desa pakraman dalam hal ini yaitu masyarakat sebagai pendukung hak dan kewajiban untuk kesejahteraannya.

Pandangan penulis untuk memberikan kesimpulan bahwa hukum itu sui generis yang selalu berkembang sesuai dengan pola pikir masyarakat dan perkembangannya. Akan tetapi, antara hukum yang dibuat dengan hukum yang diterapkan sering ditemukan ketidaksesuaian. Maka dari itu, inilah yang perlu dicari jalan keluar untuk penyelesaian permasalahannya.

Hukum yang hidup adalah hukum yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakatnya, berdasarkan pengalaman hidup mereka, bersumber dari nilai falsafahnya, diterima, didukung, ditaati, oleh masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya yang berdasarkan hak asasi manusia harus dilindungi, diakui, dan dilaksanakan maka dari itu dalam pembaharuan hukum adat melalui aturan tertulis yaitu awig-awig inilah diatur sesuai dengan prinsip kebinekaan Pancasila yang lebih mengerucut lagi yaitu dapat melahirkan suatu pluralisme hukum yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia.

Penulis, Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Dwijendra & Legal Consultant Kantor Hukum Jagadhita Law Office

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *