Foto sejumlah siswa sedang belajar sebelum pandemi Covid-19. (BP/dok)

Oleh Ika Desi Budiarti, M.Pd.

Bagi pengamat ekonomi, pengamat politik, dan bahkan masyarakat awam yang selalu mengikuti berita aktual pasti mengenali  frase “Games of Thrones” ala Presiden Jokowi. Ya, pada perhelatan akbar Annual Meeting IMF-World Bank 2018 digelar di Bali Nusa Dua Convention Center beberapa hari yang lalu, sebagai pidato pembuka Presiden Jokowi mengibaratkan kondisi perekonomian dunia seperti kondisi dalam serial TV “Games of Thrones”.

Pernyataan paling mengenanya adalah “Untuk itu, kita harus bertanya, apakah sekarang saat yang tepat untuk rivalitas dan kompetisi? Ataukah saat  ini waktu yang tepat untuk kerja sama dan kolaborasi?” dan “Ketika kemenangan  sudah dirayakan dan kekalahan sudah diratapi, barulah kemudian kedua-duanya sadar, bahwa kemenangan dan kekalahan dalam perang selalu hasilnya sama, yaitu dunia yang porak poranda”.

Dari segi ekonomi, pidato Presiden Jokowi sangat jelas, saat negara adikuasa bertarung, maka di akhir, baik pihak yang menang  ataupun pihak yang kalah akan sama-sama mengalami kerugian. Oleh karena itu, Presiden Jokowi mengajak seluruh elemen untuk mulai melupakan kompetisi, apalagi kompetisi tidak sehat, dan mulai memupuk kolaborasi untuk menuju peradaban yang lebih baik.

Jika dianalogikan ke dalam bidang pendidikan, frase “kompetisi versus kolaborasi”, bukanlah hal yang asing. Sudah lama didengungkan, yaitu sejak awal peralihan dari Kurikulum 2004 menjadi Kurikulum 2006, hingga disempurnakan dalam Kurikulum 2013.

Baca juga:  Ribuan Personel Dikerahkan Amankan Kunker Presiden

Perubahan paradigma belajar dari kompetisi mulai direduksi menjadi kolaborasi. Tujuan belajar pun perlahan mulai diubah dari memenangkan kompetisi menjadi sukses bersama melalui kolaborasi positif. Akan tetapi, sudahkah semua pihak benar-benar memahami tujuan mulia pelaksanaan pendidikan dan dampaknya pada masa depan?

Saking lamanya kita dicekoki pemahaman bahwa pemenang kompetisi adalah yang terbaik, yang bahkan tanpa kita sadari menimbulkan pemahaman apa pun akan dilakukan asal memenangkan kompetisi. Sejatinya, usia sekolah adalah usia terbaik untuk mengenalkan pentingnya berkolaborasi, bekerja sama dalam teamwork, beradaptasi, dan lebih banyak bersosialisasi untuk lebih banyak memiliki teman atau koneksi positif.

Anak yang tumbuh dengan melalui fase kolaborasi, pada masa dewasanya kelak akan memiliki mental “apa yang bisa saya bantu?” Pada saat memasuki dunia kerja, mereka akan mampu bekerja sama, saling mendukung, serta saling menghormati untuk memajukan tempat kerjanya yang akan berimbas dalam kesetaraan kesejahteraan.

Sedangkan anak yang dituntut untuk berkompetisi cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kurang suka bekerja sama, karena akan menganggap temannya adalah kompetitornya yang harus dikalahkan. Celakanya, seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, apabila proses kompetisi ini tidak diikuti oleh karakter positif yang mumpuni, bisa menjadi ajang menghalalkan segala cara hanya untuk menunjukkan hasil yang terbaik, yang belum tentu melalui proses yang baik.

Baca juga:  Presiden Jokowi Isyaratkan Kepala Otorita IKN Dari Nonpartai

Praktik-praktik kecurangan demi hasil terbaik tidak bisa dimungkiri masih sering terjadi di dunia pendidikan kita, hanya demi memenangkan suatu kompetisi semu. Pendidikan adalah suatu proses. Jadi, untuk melihat apakah anak kita berhasil dalam pendidikannya, maka nilailah prosesnya, bukan sekadar nilai akhir. Semisal saat anak kita tidak mendapat ranking di kelasnya, apakah otomatis anak kita artinya anak yang bodoh?

Tentu saja tidak, karena ranking hanyalah salah satu bentuk apresiasi terhadap nilai akhir dari proses belajar. Maka dari itu sejak diberlakukannya Kurikulum 2004, sistem ranking di kelas sudah ditiadakan demi menghindari praktik kompetisi yang tidak sehat di masa belajar anak. Untuk memantau keberhasilan anak dalam pendidikannya, maka tiliklah peningkatan hasil belajarnya, bandingkanlah prestasi belajar anak dengan prestasi belajar sebelumnya, bukan dengan prestasi belajar anak lainnya.

Jikalaupun anak kita tidak mengalami peningkatan hasil belajar, janganlah serta merta menyalahkan anak, karena kemajuan proses belajar seorang anak tidak hanya bersumber dari diri anak, tapi banyak faktor lain yang mempengaruhi, salah satunya adalah kita orang tuanya. Lebih efektif adalah melakukan diskusi bersama dengan anak mengenai apa yang akan dilakukan bersama untuk meningkatkan hasil belajar selanjutnya.

Baca juga:  Serentak di 22 Kota, LOOP dan Gramedia Gelar Simulasi SBMPTN

Kurangilah doktrin kepada anak agar mereka menjadi pemenang kompetisi. Karena sekolah adalah ajang berkolaborasi bukan ajang berkompetisi yang malah lebih mengarah ke individualisme. Sejalan bukan dengan harapan Presiden Jokowi melalu pidato “Games of Thrones”-nya. Bangsa kita membutuhkan generasi penerus yang mampu bekerja sama, berempati tinggi, jujur, dan bertanggung jawab.

Generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga secara spritual dan emosional. Ke depannya, bangsa ini tidak membutuhkan generasi penerus yang saling jegal, saling menjatuhkan, dan berkompetisi untuk menunjukkan kejelekan kompetitornya demi terlihat paling baik. Kecuali ingin bangsa ini hancur. Jadi mari bersama ciptakan suasana pendidikan yang mampu menumbuhkan semangat kolaborasi dan kerja sama anak yang bertanggung jawab. Itu PR besar kita semua baik dari elemen orang tua, pendidik, pemerintah, dan juga masyarakat.

Penulis, pendidik di SMA Negeri 2 Mengwi dan Blogger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *