DENPASAR, BALIPOST.com – Rasa damai tidak bisa diharapkan dari orang lain, tetapi harus dimulai dari dalam hati diri sendiri. Ketika hati sudah damai, seketika itu rasa damai akan tersebar ke sekeliling kita.

“Dengan demikian, kita semua akan bisa meraih suasana damai. Kita tidak bisa menuntut orang agar damai kalau hati kita tidak pernah damai,” kata pegiat kedamaian, Peace Makers Indonesia, Andy Prawira mengawali sarasehan kebangsaan bertajuk “Damai Itu Indah, Damai Itu Upaya” yang diselenggarakan komunitas pecinta damai di Denpasar, Jumat (2/3).

Andy Prawira ditemani dua narasumber lain, yakni Gus Nur (Muhammad Sayyidil Mursalin) dari Rajawali Nusantara Jaya Binangun dan Ketut Darmika, pegiat Gema Perdamaian. Sarasehan ini dipandu oleh Nyoman Merta Harnaga (Direktur Eksekutif Paiketan Krama Bali) dan Gus Yadi (Soko Tunggal Bali).

Baca juga:  Belum Optimal, Pembelian Air dari Sarbagita Petanu

Andy Prawira, mengatakan kalau ingin membuat suasana damai di Indonesia, mulailah dari diri sendiri dan multiplikasi rasa damai itu kepada orang lain. Namun patut diingat, semua harus berlandaskan etika, agama dan budaya. “Saya berharap kita semua sebagai peace makers, mari mulai multiplikasi peace makers agar negeri ini bisa lebih damai,” ajak Andy Prawira.

Sementara itu, pada kesempatan tersebut, Gus Nur menjelaskan makna Islam (Muslim). Dikatakan, Islam yang benar adalah Islam yang rakhmatan lil alamin, yakni Islam yang mencintai semua makhluk di bumi, di langit, dan diantara bumi dan langit. “Muslim sejati itu adalah muslim yang memahami dirinya sendiri. Barang siapa yang menyebut dirinya muslim dan  memahami dirinya sendiri, maka ia akan memahami Allah-nya (Tuhan-nya),” tegas Gur Nur.

Baca juga:  Mancing di Laut Lepas, Nelayan Pemaron Hilang

Menurutnya, Indonesia selalu ribut karena selalu “bermain” di nama, di agama, dan di kulit. Tetapi belum bermain di hakikat dalam hak mengenal jati diri, mengenal leluhur yang demikian hebatnya. “Kita masih selalu berdebat di nama (agama, kulit, suku, ras, golongan). Kita sangat jauh kalah dibandingkan para leluhur kita. Beliau telah mewariskan Candi Borobudur, Prambanan, Pura-pura besar di seluruh Indonesia, sementara kita hanya bisa berdebat merasa paling benar, paling suci dan lain-lainnya. Pemikiran kita yang sempit inilah yang membuat kita bodoh, tetapi merasa pintar, merasa paling benar dan menuduh umat agama lain salah, orang lain selalu salah,” ujarnya.

Menurut Ketut Darmika, kedamaian itu bisa terwujud jika manusia mampu melihat aspek spiritual dan jati dirinya yang terdiri dari tujuh lapisan. Damai itu hanya bisa diwujudkan jika setiap manusia mampu mengendalikan pikiran, kata-kata dan tingkah lakunya agar selalu baik dan damai serta menyejukkan.

Baca juga:  Dugaan Pembunuhan Pria NTT, Polisi Buru Empat Pelaku

Hal itu harus dimulai dari kesadaran diri akan keberadaan lapisan terhalus dari diri manusia yaitu Atman. Sebab, Atman adalah percikan dari Paramatman (Brahman) atau Tuhan itu sendiri. “Ketika kita telah mampu menyadari keberadaan Atman, maka tidak ada alasan apa pun bagi kita untuk saling melukai hati dan perasaan orang lain, umat lain agama dan sebagainya,” tandas Darmika.

Sarasehan yang dihadiri ratusan pegiat perdamaian dari berbagai kalangan masyarakat ini diisi dengan ritual, doa dan renungan bersama. Selain itu makan bubur merah putih, pembacaan Puisi kebangsaan dan penandatanganan seruan kedamaian bangsa. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *