
DENPASAR, BALIPOST.com – Sidang dugaan korupsi dana komite dan PIP dengan terdakwa Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Klungkung non aktif, I Wayan Siarsana, Jumat (31/10) kembali dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Denpasar.
JPU I Putu Iskadi Kekeran menjawab pledoi terdakwa yang disampaikan kuasa hukumnya Nengah Sukardika, Ida I Dewa Dwi Yanti dkk., yang pada pokoknya pihak terdakwa minta dibebaskan karena perkara ini hanyalah kesalahan administrasi.
Namun JPU dari Kejari Klungkung menegaskan bahwa sesuai pemeriksaan saksi dan ahli didukung bukti terkait, yakin bahwa Siarsana terbukti bersalah sehingga tetap dituntut pidana penjara selama enam tahun. “Pada pokoknya kami tetap pada tuntutan,” ucap JPU.
Sedangkan Sukardika, Ida I Dewa Dwi Yanti dkk., dalam pledoinya mengakui terdakwa keliru dalam konteks pelanggaran administrasi manajerial, namun bukan dalam konteks niat jahat pidana.
Sehingga kuasa hukum terdakwa menilai terdakwa disebut melanggar Pasal 3 UU Tipikor adalah keliru karena gagal membuktikan unsur esensial yaitu dengan tujuan menguntungkan diri sendiri.
Pengggunaan dana komite dan PIP untuk tujuan sosial (mencegah putus sekolah) saat Covid-19. Sehingga tidak memenuhi unsur kerugian keuangan negara yang nyata dan riil dalam konteks UU Tipikor.
Sebelumnya JPU Putu Iskadi Kekeran, dkk., dari Kejari Klungkung, pada pokoknya menilai bahwa terdakwa Siarsana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindaka pidana korupsi untuk dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana diancam pidana dalam pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Siarsana oleh pihak Kejari Klungkung yang dikomando I Wayan Suardi kemudian dijatuhi pidana penjara selama enam tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dan membayar denda sejumlah Rp 100 juta, apabila denda tidak dibayar maka sebagai gantinya menjalani pidana kurungan selama enam bulan.
Terdakwa Siarsana juga dijatuhi pidana tambahan membayar uang pengganti senilai Rp910.444.278,81 dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama dalam waktu satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka dipidana dengan pidana penjara selama empat tahun. Yang menarik, saat diperiksa sebagai terdakwa, Wayan Siarsana menggunakan dana PIP berdalih bahwa saat itu Covid-19. Di hadapan majelis hakim yang diketuai Ida Bagus Made Ari Suamba, terdakwa mengaku walau Covid-19 siswa tetap membayar uang komite. Namun ada beberapa siswa yang tidak bayar dana komite sehingga siswa yang tak membayar itu diambilkan dari dana PIP.
Majelis hakim bertanya ada persetujuan tidak dari penerima PIP untuk dibayarkan komite? Atau ada kuasa dari PIP dibayarkan komite? Terdakwa dengan polos mengatakan tidak ada. Hakim pun mengatakan bahwa terdakwa menggunakan hak orang, mestinya harus dicarikan izin. Terdakwa pun ditanya apa itu PIP, dan dijawab lugas bahwa itu adalah beasiswa Program Indonesia Pintar.
“Karena saat itu Covid-19 yang mulia, saya bermaksud membantu,” sebut terdakwa.
Hakim pun kembali menyampaikan kenapa tidak disampaikan secara resmi, apalagi itu kan hak orang. Sehingga hakim menilai Itu idenya terdakwa sendiri. Terdakwa juga mengakui ada dana komite digunakan untuk merenovasi ruangan kepala sekolah, hingga ada Rp 5 juta dana komite digunakan untuk perjalanan dinas. (Miasa/balipost)
 
  
 







