
KUANTAN SINGINGI, BALIPOST.com – Festival Pacu Jalur kembali digelar tahun ini. Festival berlangsung pada 20-24 Agustus, di Tepian Narosa, Teluk Kuantan, Provinsi Riau. Pembukaannya dihadiri Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka.
Festival Pacu Jalur merupakan pesta rakyat khas Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Menghadirkan perahu panjang kayu yang disebut jalur yang didayung puluhan orang secara serempak.
Bukan sekadar perlombaan, festival ini adalah warisan budaya berusia ratusan tahun yang bermula dari tradisi transportasi sungai dan kemudian berkembang menjadi ajang kebanggaan antar-kampung, bahkan viral di seluruh dunia.
Berikut lima fakta menarik tentang Festival Pacu Jalur, dilansir dari berbagai sumber:
1. Asal-usul
Pacu Jalur sudah ada sejak abad ke-17. Awalnya, jalur atau perahu panjang dipakai masyarakat Kuantan Singingi untuk mengangkut hasil bumi melalui Sungai Batang Kuantan, sebelum berkembang menjadi lomba tradisional.
Pada masa itu, sungai Batang Kuantan menjadi jalur utama transportasi masyarakat untuk mengangkut hasil bumi, seperti padi, karet, dan hasil hutan, ke daerah hilir. Perahu panjang yang disebut jalur dibuat dari batang kayu utuh, kemudian didayung beramai-ramai agar muatan bisa sampai dengan cepat.
Seiring perjalanan waktu, aktivitas ini tidak hanya menjadi sarana transportasi, tetapi juga bertransformasi menjadi ajang adu cepat antar-kampung, terutama pada perayaan hari besar Islam atau pesta kerajaan.
Dari sinilah tradisi Pacu Jalur lahir, berkembang, dan diwariskan turun-temurun sebagai lambang kebersamaan, gotong royong, sekaligus kebanggaan masyarakat Kuantan Singingi.
2. Ukuran perahu
Jalur dibuat dari batang kayu utuh, panjangnya bisa mencapai 25–40 meter dengan kapasitas sekitar 40–60 pendayung. Bentuknya yang panjang dan ramping dirancang agar dapat melaju cepat di sungai saat lomba berlangsung.
Proses pembuatan jalur memerlukan waktu berbulan-bulan. Mulai dari pencarian kayu, pembentukan badan perahu, hingga hiasan dan ukiran, semua dilakukan secara teliti dan hati-hati. Tidak hanya membutuhkan keterampilan teknis, pembuatan jalur juga melibatkan kerja sama erat antarwarga.
Gotong royong masyarakat desa menjadi inti dari tradisi ini. Setiap jalur bukan sekadar sarana lomba, melainkan juga simbol kebersamaan, solidaritas, dan identitas budaya masyarakat Kuantan Singingi yang diwariskan turun-temurun.
3. Makna budaya
Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan perahu di Sungai Kuantan, melainkan sebuah tradisi besar yang telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Melayu Riau. Setiap tahun, ratusan pendayung dari berbagai desa ikut serta, membawa semangat persaingan sehat sekaligus kebanggaan bagi kampung mereka.
Di balik riuh sorak penonton dan hentakan dayung, tersimpan makna kebersamaan, sportivitas, serta kekuatan gotong royong yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Kuantan Singingi.
Keistimewaan lain dari jalur terletak pada hiasan dan ukiran yang memperindah perahu. Setiap jalur tidak hanya dipandang sebagai sarana lomba, tetapi juga sebagai karya seni yang penuh makna simbolis.
Motif naga misalnya, melambangkan keberanian dan kekuatan, sementara motif pucuk rebung menjadi lambang harapan, pertumbuhan, dan keberlanjutan tradisi. Dengan hiasan yang berwarna-warni, jalur tampil megah sekaligus mencerminkan nilai-nilai luhur yang dijunjung masyarakat setempat.
Pacu jalur menjadi ruang ekspresi budaya Melayu Riau yang menyatukan generasi tua dan muda. Para tetua berperan menjaga dan mewariskan tradisi, sementara kaum muda belajar disiplin, sportivitas, serta arti kebersamaan melalui latihan dan perlombaan.
4. Skala festival
Kemeriahan lomba perahu tradisional ini berhasil menarik perhatian luas, sehingga ditetapkan sebagai agenda tahunan berskala nasional dan masuk ke dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Status ini menunjukkan bahwa pacu jalur bukan sekadar pesta rakyat, melainkan juga aset budaya yang memiliki nilai strategis bagi promosi pariwisata Indonesia.
Setiap tahunnya, festival ini mampu menyedot ribuan penonton, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Mereka datang tidak hanya untuk menyaksikan perlombaan yang penuh adrenalin, tetapi juga untuk menikmati nuansa budaya Melayu Riau yang kental, mulai dari pertunjukan seni, kuliner khas, hingga pameran kerajinan rakyat.
Kehadiran wisatawan dalam jumlah besar turut menggerakkan ekonomi lokal, memberi peluang bagi masyarakat setempat untuk memasarkan produk dan jasa mereka.
5. Fenomena “aura farming” mendunia
Fenomena baru turut mewarnai Pacu Jalur dengan hadirnya tren “aura farming” yang viral di media sosial. Istilah ini dipopulerkan oleh kreator muda Rayyan Arkan Dhika melalui unggahan video singkat yang memadukan tarian ringan dengan latar perahu jalur yang dihias penuh warna.
Popularitas tren ini tidak berhenti di lingkup lokal. Video dance di depan jalur yang meriah berhasil menembus audiens global setelah tersebar luas di berbagai platform digital.
Salah satu momen yang paling mengejutkan adalah ketika Paris Saint-Germain (PSG), klub sepak bola papan atas dunia, turut memberikan apresiasi terhadap video tersebut.
Tidak hanya itu, sejumlah selebritas internasional ikut membagikan ulang konten serupa, menjadikan Pacu Jalur semakin dikenal oleh masyarakat mancanegara. (Dedi Sumartana/balipost)