
DENPASAR, BALIPOST.com – Royalti musik kembali menjadi sorotan publik. Banyak pro dan kontra bermunculan, terutama di kalangan pelaku usaha yang menggunakan musik sebagai bagian dari layanan mereka.
Presiden Direktur Wahana Musik Indonesia (WAMI) Adi Adrian menjelaskan gambaran penghitungan royalti musik yang mereka kumpulkan dan berikan kepada musisi yang berada di bawah naungan organisasi tersebut.
WAMI adalah salah satu lembaga manajemen kolektif (LMK), yaitu sebuah lembaga yang ditunjuk untuk mengumpulkan dan mendistribusikan royalti kepada pemegang hak cipta lagu.
Dalam keterangannya dikutip dari Kantor Berita Antara, Selasa (19/8), penghitungan royalti nilainya dihitung berdasarkan data penggunaan karya yang diterima dari pengguna, misalnya radio, TV, platform digital, hotel, kafe. Kemudian, data itu dibagi sesuai proporsi hak cipta masing-masing anggota.
“WAMI memiliki dasar rumus hitung-hitungan, yang juga digunakan oleh LMK lain, termasuk LMK di luar negeri. Ini adalah rumus yang berlaku umum secara global,” ujar Adi.
Periode pembayaran royalti bukan tahunan saja, melainkan empat bulan sekali berdasarkan alur data yang diterima dari berbagai platform dan pengguna karya yang dikenakan royalti tersebut.
WAMI, yang saat ini memiliki anggota berjumlah lebih dari 5.000 pencipta dan penerbit musik, mengelola penggunaan karya yang digunakan di tempat umum secara komersial milik para anggotanya.
“Semua anggota WAMI, bisa meminta penjelasan, terkait besaran royalti, termasuk besaran distribusinya. Untuk itu kami akan merespons secepatnya sesuai dengan data yang kami miliki dan kelola dengan perangkat manajemen yang profesional,” jelas Adi.
Kepala Operasional WAMI Memed Umaedi menjelaskan gambaran alur royalti yang WAMI terima hingga sampai ke pihak komposer. Organisasi tersebut memiliki tim lisensi yang bertugas mengumpulkan royalti dari penggunaan sebuah karya cipta musik tiap-tiap anggotanya.
Ketika promotor mengadakan sebuah konser, maka mereka harus membayar royalti atas set list (kumpulan lagu-lagu) yang dibawakan dalam konser itu kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Kemudian, para LMK mengeklaim royalti atas lagu-lagu tersebut dan LMKN membayarkan royalti kepada LMK disertai laporan data penggunaan karya.
Oleh WAMI, data penggunaan karya dimasukkan ke dalam sistem mereka.
“Begitu juga dengan nilai royaltinya dan nilai royalti yang kami peroleh. Tentu ada biaya operasionalnya buat WAMI dan royalti yang siap didistribusikan,” kata Memed menjelaskan.
Ketika sebuah konser akan memainkan set list berisi 10 lagu, maka promotor harus membayarkan royalti untuk kesepuluh lagu tersebut, misalnya senilai Rp5.000.000. Dengan angka tersebut, maka setiap lagu mendapat royalti sebesar Rp500.000.
WAMI mendistribusikan Rp500.000 tersebut kepada pihak yang memiliki hak atas lagu tersebut, termasuk pencipta dan penerbit lagu. Jika pihak yang memiliki hak atas karya tersebut berjumlah lebih dari satu orang, maka tiap pihak mendapatkan besaran sesuai proporsi yang didaftarkan kepada WAMI.
“Misalkan mereka mendaftarkan lagunya, misalkan lagu A pencipta pertama (mendapatkan) 30 persen, pencipta keduanya 20 persen, penerbitnya 50 persen,” kata Memed.
Bentuk Penghargaan
Namun sebenarnya, royalti bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan bentuk penghargaan terhadap para pencipta lagu dan musisi.
Royalti musik adalah kompensasi finansial yang diberikan kepada pencipta lagu, komposer, atau pemilik hak cipta atas penggunaan karya musik mereka.
Penggunaannya bisa berupa pemutaran lagu di tempat umum, pertunjukan live, hingga penggunaan dalam media elektronik seperti televisi, radio, dan internet.
Royalti diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap penggunaan karya cipta milik orang lain untuk kepentingan komersial harus mendapat izin dan membayar kompensasi yang layak.
Pengelolaan royalti dilakukan oleh:
LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) yang mendistribusikan royalti ke LMK.
LMK (Lembaga Manajemen Kolektif), seperti:
– WAMI (Wahana Musik Indonesia) – fokus pada artis/pelaku pertunjukan.
– KCI (Karya Cipta Indonesia) – fokus pada pencipta lagu.
Usaha yang Wajib Bayar Royalti
Berbagai jenis usaha yang memanfaatkan musik untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti.
Dilansir dari berbagai sumber, berikut jenis-jenis usaha yang diwajibkan membayar royalti:
– Hotel dan penginapan (lobi, kamar, restoran, fasilitas umum)
– Restoran, kafe, dan bar (musik latar, live music, karaoke)
– Pusat perbelanjaan (mal, supermarket, toko)
– Transportasi: Bukan hanya tempat usaha, sarana transportasi, seperti pesawat, kapal, bus, dan kereta yang memutar musik di dalam kabin.
– Penggunaan musik di media elektronik: Bioskop dan teater, penyiaran televisi dan radio (acara, jingle, iklan)
– Kegiatan komersial yang melibatkan musik seperti: Konser, event organizer, pertunjukan seni
– Platform digital dan media sosial, terutama jika dimonetisasi
Perhitungan royalti mempertimbangkan beberapa faktor:
– Jenis usaha
– Luas tempat
– Durasi pemakaian musik
– Skala kegiatan
Contoh: restoran kecil dengan kapasitas 50 orang bisa dikenakan tarif sekitar Rp1 juta hingga Rp3 juta per tahun, tergantung kebijakan LMK.
Membayar royalti bukan hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga:
– Menghargai karya cipta musisi
– Mendukung ekosistem musik yang sehat dan berkelanjutan
– Memberi dampak positif bagi industri kreatif nasional
Di era digital, musik semakin mudah diakses dan digunakan. Oleh karena itu, kesadaran semua pihak—baik pelaku usaha, media, hingga individu kreator—untuk mematuhi aturan royalti sangat penting demi keadilan dan keberlangsungan industri musik Indonesia.
Dengan memahami dan memenuhi kewajiban royalti, pelaku usaha tak hanya terhindar dari sanksi hukum, tetapi juga ikut andil dalam mendukung keberlangsungan karya-karya anak bangsa. (Pramana Wijaya/balipost)