
DENPASAR, BALIPOST.com – Di balik vonis hakim dalam sidang Pengadilan Korupsi yang menjatuhkan hukuman penjara dan denda bagi para koruptor, perbuatan korupsi yang dilakukan para terdakwa juga dilakukan perampasan terhadap hak politik para pelakunya.
Sejumlah tokoh elite politik, yang terjerat kasus korupsi harus merelakan kehilangan panggung politiknya, pasca divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Setya Novanto, bukanlah satu-satunya narapidana korupsi yang harus merelakan hak politiknya hilang. Sebelumnya, beberapa pejabat dan tokoh partai besar juga dicabut hak politiknya sebagai konsekuensi atas kasus korupsi yang menjeratnya.
Berikut lima tokoh dalam catatan Balipost.com, Selasa (19/8), yang dikenai pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam penegakan hukum korupsi di Indonesia, yaitu:
1. Ratu Atut Chosiyah
Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten. Dalam putusan Mahkamah Agung, memperberat vonisnya menjadi 7 tahun penjara dan sekaligus mencabut hak politiknya, dilarang untuk dipilih dalam jabatan publik.
2. Luthfi Hasan Ishaaq
Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Makamah Agung menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara dan mencabut hak politiknya agar tidak bisa kembali ke ranah jabatan publik.
3. Irjen Djoko Susilo
Irjen Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri. Dijatuhi hukuman 18 tahun penjara oleh MA dan hak politiknya dicabut agar tak terpilih kembali dalam jabatan publik.
4. Anas Urbaningrum
Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat. Dipidanakan dan dijatuhi hukuman 14 tahun penjara, Makamah Agung menghilangkan hak politiknya.
5. Irman Gusman
Irman Gusman, mantan Ketua DPD RI. Irman Gusman termasuk dalam daftar koruptor yang dicabut hak politiknya, sehingga tidak bisa dipilih selama jangka waktu tertentu.
Pencabutan hak politik menjadi salah satu instrument hukum yang diyakini mampu memberi efek jera bagi pelaku korupsi. Hak politik koruptor bisa dicabut berdasarkan atas ketentuan KUHP Pasal 35, yang isinya, memungkinkan pencabutan hak tertentu, termasuk hak untuk dipilih dalam jabatan publik.
Demikian pula diatur dalam UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), yang memberikan ruang hakim menjatuhkan pidana tambahan.
Pencabutan hak politik merupakan kewenangan yang diberikan kepada hakim. Pencabutan hak politik bukan otomatis, tapi putusan tambahan.
Hakim mempertimbangkan dampak sosial-politik, jabatan terdakwa sebelumnya, dan untuk efek jera. Akan tetapi, menurut pandangan Mahkamah Konstitusi (MK), pencabutan hak politik harus proporsional, misalnya diberlakukan maksimal 5 tahun setelah menjalani hukuman pokok, agar tidak melanggar hak asasi.
ironisnya, tidak semua koruptor dicabut hak politiknya. Putusan ini cenderung berlaku untuk mereka yang punya posisi strategis, seperti kepala daerah, ketua partai, dan pejabat tinggi negara. (Agung Dharmada/balipost)