
JAKARTA, BALIPOST.com – Kesejahteraan untuk sopir truk yang mencakup jaminan kesehatan, bukan hanya upah yang layak. Hal itu diupayakan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Menko IPK) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Upahnya bagaimana? Benefit untuk jaminan kesehatannya bagaimana? Jaminan ketenagakerjaannya juga harus dipastikan agar menyeluruh,” ucap AHY setelah menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) Pembahasan Penanganan Kendaraan Lebih Dimensi dan Lebih Muatan (Over Dimension-Over Loading/ODOL) di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (17/7).
AHY menyampaikan bahwa kesejahteraan pengemudi telah lama menuai perhatian dari Presiden Prabowo Subianto. Menurut AHY, bukan hanya ketersediaan lapangan pekerjaan yang penting, peningkatan kesejahteraan juga mesti diperhatikan sebagaimana yang termaktub dalam Astacita.
Oleh karena itu, dalam salah satu rencana aksi nasional, AHY memprioritaskan penguatan aspek ketenagakerjaan dengan standar kerja yang layak bagi pengemudi, terutama mengenai upah, jaminan sosial, dan perlindungan hukum.
Rencana aksi tersebut nantinya akan termaktub dalam rancangan peraturan presiden (Perpres) soal penguatan logistik nasional, guna mendukung kebijakan Indonesia Zero ODOL.
Selaras dengan AHY, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Cris Kuntadi menyampaikan bahwa pemerintah tengah berupaya untuk memberi jaminan kesejahteraan yang lebih terorganisir, salah satunya mendukung para sopir truk untuk mendaftarkan diri ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
“Bukan hanya untuk kesejahteraan, melainkan juga perlindungan. Jadi, kalau misalnya penghasilan mereka di bawah UMR (upah minimum regional), nanti akan ada pengawasan dari Kementerian Ketenagakerjaan,” ucap Kuntadi.
Selain itu, apabila waktu kerja sopir truk terlalu panjang, pemerintah juga bisa memberikan teguran.
Kuntadi juga menyoroti dua skema pengupahan sopir truk, yakni skema pekerja tetap dan skema informal. Untuk skema pekerja tetap, Kuntadi menyampaikan biasanya para sopir mendapatkan upah yang memadai, berikut dengan jaminan-jaminan sosialnya.
Akan tetapi, lebih banyak sopir truk yang menggunakan skema pekerja informal, sehingga upah yang mereka terima berdasarkan jarak tempuh atau barang yang dibawa.
“Ini yang kami dorong supaya semakin banyak sopir yang menjadi pekerja formal, sehingga standar gajinya sesuai UMP (Upah Minimum Provinsi) atau UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota),” kata Kuntadi. (Kmb/Balipost)