
DENPASAR, BALIPOST.com – Parade Wayang Remaja Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025 kembali menjadi ajang pembuktian generasi muda dalam melestarikan seni pedalangan. Kali ini, giliran Duta Kabupaten Bangli dari Sanggar Gelunggang, Banjar Lebah, Desa Susut, Kecamatan Susut, yang mencuri perhatian lewat pementasan lakon “Jayadrata Antaka”, di depan Gedung Kriya, Taman Budaya Bali, Senin (14/7) malam.
Di balik kisah balas dendam Arjuna atas kematian Abimanyu, terselip kritik sosial dan pesan moral mendalam yang disampaikan secara tajam oleh dalang remaja I Putu Pande Sapriawan. Dengan kelincahan tangan dan vokal yang kuat, ia menyulap pertunjukan tradisional menjadi panggung edukasi yang menyentuh dan kontemporer.
“Jayadrata melambangkan pengkhianatan berkedok persahabatan. Sekarang banyak yang tampil sebagai teman, tapi menusuk dari belakang. Kita harus jadi manusia yang jujur dan ksatria,” ucap Pande usai pentas.
Pertunjukan ini mengangkat episode Mahabharata saat Jayadrata bersembunyi di balik perlindungan berlapis pasukan Korawa. Arjuna yang bersumpah menuntut balas dibantu Sri Kresna, yang menciptakan kegelapan semu dengan cakra sudarsana untuk membuka celah serangan. Pande membawakan setiap tokoh dengan cermat, menunjukkan kedalaman karakter lewat intonasi dan ekspresi wayang yang presisi.
Meski tampil di panggung yang lebih kecil, pertunjukan ini mendapat sambutan hangat. Penonton dari berbagai usia bertahan hingga akhir, bahkan anak-anak mulai mendekat ketika adegan perang dimulai. “Kami sengaja mengemas pertunjukan agar tetap relevan dan menarik bagi semua umur, tanpa meninggalkan pakem,” kata Pande, yang telah menekuni dunia pedalangan sejak usia dini.
Pementasan ini bukan hanya soal keterampilan individu. Pande didukung delapan kru inti dari total 15 anggota tim, serta bimbingan dari dua dalang senior, I Nengah Darsana dan I Nengah Dwija Badrayana. Latihan intens dilakukan sejak empat bulan lalu demi menghasilkan pertunjukan berkualitas.
Kehadiran dalang muda seperti Pande Sapriawan menjadi angin segar bagi dunia pedalangan Bali. Ia membuktikan bahwa seni tradisional masih bisa hidup dan tumbuh di tangan anak muda yang mau belajar dan menafsirkan tradisi secara kontekstual. Dengan pesan kuat dan eksekusi matang, “Jayadrata Antaka” bukan sekadar pementasan, melainkan refleksi tentang nilai kesetiaan dan keberanian dalam kehidupan nyata. (Adv/Balipost)