
DENPASAR, BALIPOST.com – Dramatari Arja yang dulu identik dengan tontonan generasi tua, kini hadir dalam rupa baru yang lebih segar dan relevan bagi penonton kekinian.
Di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025, publik diajak menikmati sebuah pertunjukan arja yang tidak hanya setia pada pakem tradisi, namun juga tampil kekinian: Arja Lingsar.
Dipentaskan Selasa (24/6), di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Arja Lingsar menjadi bagian dari program “Bedah Karya” bertajuk “Arja Tak Jadi Mati”. Program ini tak sekadar menonton, tetapi juga mengajak audiens berdiskusi dan merenung.
Sekaa Arja Gita Semara dari Desa Peliatan, Ubud, Gianyar menjadi penuaji karya, dengan konsep yang ditata oleh I Wayan Sudiarsa dan I Wayan Sukra, serta musik garapan Gamelan Suling Gita Semara.
Dalam pertunjukan ini, Arja dikemas sederhana, namun sarat makna. Pementasan dilakukan dalam posisi duduk (lingsar) dengan busana minimalis, namun tetap mematuhi pakem arja secara penuh, mulai dari struktur papeson hingga jangkep. Lingsar, atau Linggih Sarat, melambangkan makna mendalam, duduk dengan penuh kesungguhan dan kesadaran, menyampaikan petuah-petuah kehidupan melalui sastra dan nyanyian.
Arja Lingsar menyuarakan keresahan masyarakat Bali di tengah gempuran modernitas dan pariwisata. Mulai dari isu global hingga problematika lokal, karya ini menjadi refleksi sosial yang mengajak pemirsa kembali ke jati diri dan spiritualitas Bali.
Melalui lakon ini, masyarakat diajak untuk memohon pengampunan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan berharap pulihnya keharmonisan semesta.
Tak hanya menyuguhkan dramatari, Arja Lingsar memperkaya panggung dengan kolaborasi tiga kesenian Bali: Arja, Sanghyang, dan Gambuh. Unsur musikalnya menggali pola-pola gegendingan Rangda dengan menggabungkan struktur Sesanghyangan dan Pegambuhan. Salah satu yang paling kuat adalah “Cihna Angga”, nyanyian yang menggambarkan sosok Rangda dari ujung rambut hingga kaki—sebuah bentuk nyihnayang angga yang dalam dan simbolis.
Rektor Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali, Prof. Dr. Drs. I Made Suarta, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa Arja tidak akan pernah mati. “Sepanjang masih ada agama Hindu dan adat istiadat Bali, Arja akan tetap hidup. Penonton mungkin menurun, tapi napas Arja tetap ada,” ujarnya.
Ia menyebut, Arja pertama kali muncul di Klungkung sekitar tahun 1814, dikenal dengan nama Arja Dadap, sebelum menyebar ke seluruh Bali termasuk Singapadu yang kini menjadi pusat Arja, juga Sibang di Badung dan beberapa daerah di Jembrana. Arja kemudian masuk ke radio melalui RRI Denpasar berkat tokoh seperti Made Kredek, ayah dari Prof. Bandem.
Sementara itu, Dr. I Ketut Kodi, SSP.,M.Si., dosen ISI Bali, menyoroti bahwa Arja menyimpan kekuatan luar biasa karena menggabungkan sastra, pupuh, bahasa Bali, dan nilai-nilai pranayama (pengendalian napas). Menurutnya, menarikan Arja hal paling sulit dibandingkan seni lainnya. “Harus hafal tarian, gending, makna filsafat, gamelan, sampai harus mampu menjawab gending teman secara spontan,” paparnya.
Ia pun berharap agar Arja di RRI tetap dihidupkan dan meminta pemerintah Bali serius mempertahankan ruang siar tersebut.
Dalam ranah pertunjukan langsung, I Wayan Sudiarsa, S.Sn.,M.Sn., dari Sanggar Gita Semara Peliatan menyampaikan optimismenya terhadap kelangsungan Arja. Ia yang mulai bergelut secara serius di dunia Arja sejak 2019, menyebut bahwa Arja kini harus bersaing dengan sinetron dan hiburan populer lain.
“Kami tetap pentas setiap enam bulan. Bahkan saat pandemi, kami merancang pertunjukan Arja Lingsar di Pura Desa Adat Ubud. Sajian Arja ini untuk nedunang sesuhunan, agar tak selalu dengan Calonarang,” jelasnya.
Jurnalis budaya Made Adnyana Ole turut menyumbang perspektif dari sisi budaya modern dan media. Ia menyebut Arja sempat terancam punah di tahun 1970-an karena salah satu penyebabnya para penari perempuan banyak yang menikah. Namun, Arja diselamatkan oleh adanya Arja Bon atau meminjam penari dan sanggar lintas daerah. (win)
Ket. Foto: Arja Lingsar dari Sekaa Arja Gita Semara dari Desa Peliatan, Ubud, Gianyar saat pentas serangkaian PKB ke-47, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Art Center, Denpasar, Selasa (24/6) sore.