Agung Bagus Pratiksa Linggih. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Keamanan dan kenyamanan Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia kini semakin tercoreng. Pasalnya, Bali tidak saja menghadapi permasalahan sampah dan macet, namun kelakukan warga negara asing (WNA) mengancam keamanan dan kenyamanan Bali.

Tidak saja membuat keributan, pelanggaran lalu lintas, pencurian, namun juga melakukan tindak kriminal pembunuhan dengan melakukan penembakan dengan senjata api seperti yang terjadi di Munggu, Mengwi, Badung.

Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih mempertanyakan dari mana WNA tersebut mendapatkan senjata api tersebut. Sebab, berdasarkan prosedur wisman masuk Bali sudah dilakukan pemeriksaan di Imigrasi Bandara.

“Yang perlu kita pelajari ini dari mana senjata api didapat. Kita sebagai WNI (warga negara Indonesia, red) saja sangat sulit mendapat senjata api. Perlu penyelidikan lebih dalam asal usulnya agar bisa mengetahui dari mana bocornya,” tandas Politisi Partai Golkar ini, Rabu (18/6).

Baca juga:  Masa Pandemi, Momentum Menata Obyek Wisata Ceking

Pratiksa Linggih menyarankan agar pemerintah Bali dalam menerima kunjungan wisman perlu dilakukan penyaringan lebih ketat dari imigrasi dengan mencari keseimbangan antara keamanan dan kenyamanan wisatawan ke Bali. Aparat penegak hukum di Bali juga harus bersinergi dalam proses penyaringan dan seleksi wisatawan tersebut. Sehingga kejadian ini bisa dihindari ke depannya.

Sementara itu, Akademisi Hukum Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., juga mempertanyakan apakah negara telah hadir secara efektif dalam menjamin hak atas rasa aman dan nyaman bagi warganya. Sebab, peningkatan kasus kriminal seperti pencurian, begal, kekerasan seksual, bahkan pembunuhan hingga peredaran narkoba di kawasan wisata seperti di Kuta, Denpasar, dan Canggu menunjukkan adanya celah serius dalam penegakan hukum.

Baca juga:  Malam Ini, Corby Rencananya akan Tinggalkan Bali

Bahkan, tak jarang pelaku kriminal yang tertangkap justru lolos dari jerat hukum karena lemahnya pembuktian atau intervensi pihak ketiga. Menurutnya, hal ini mencederai prinsip equality before the law yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Kehadiran aparat penegak hukum pun dirasa belum optimal. Lemahnya patroli rutin, minimnya kamera pengawas (CCTV) di kawasan padat wisatawan, serta adanya keterbatasan jumlah personel kepolisian memperparah situasi.

Untuk itu, Wayan Rideng menegaskan sudah semestinya hukum hadir untuk mengatur pembangunan yang berkelanjutan dan proporsional. Sebab, ketika prinsip ini dilanggar, maka negara telah gagal memenuhi mandat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Apalagi, hal ini diperparah terhadap beberapa insiden perkelahian antarkelompok masyarakat lokal, baik karena isu adat, ekonomi, maupun konflik kepentingan lahan yang menandakan krisis nilai sosial.

Baca juga:  Sejumlah Pantai Dikabarkan Sudah Dibuka, Ini Penegasan Gubernur Koster

Selain itu, peran mediasi hukum adat dan kelembagaan lokal seperti pecalang serta desa adat seharusnya diperkuat secara formal agar mampu menjadi garda pertama dalam menjaga stabilitas sosial. Apalagi, dengan berbagai fenomena yang terjadi ini menegaskan perlunya penguatan sistem hukum pidana dan peradilan yang menjamin penegakan hukum yang tegas, adil, dan transparan.

Reformulasi kebijakan tata ruang dan transportasi melalui revisi Perda RTRW Bali agar memperhatikan daya dukung lingkungan dan kapasitas infrastruktur.

Peningkatan peran hukum adat dan kelembagaan lokal secara sistematis agar lebih diberdayakan dalam mencegah konflik sosial. Serta, kebijakan integratif berbasis keamanan  manusia yang mengutamakan rasa aman dan nyaman, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi berbasis wisata. (Ketut Winata/balipost))

BAGIKAN