
DENPASAR, BALIPOST.com – Bali tak pernah kehabisan warisan budaya yang sarat makna. Salah satunya adalah Tradisi Rejang Ayunan yang hanya dijumpai di Desa Bantiran, Kecamatan Pupuan, Tabanan.
Uniknya, tradisi ini bukan dibawakan oleh perempuan seperti Tari Rejang pada umumnya, melainkan oleh remaja laki-laki yang belum menikah.
Berikut lima fakta menarik dari tradisi sakral ini:
1. Ditarikan oleh Remaja Laki-Laki yang Belum Menikah
Dalam tradisi ini, para penari disebut dehe teruna—anak laki-laki yang baru memasuki masa remaja. Mereka dianggap masih suci secara spiritual sehingga dipercaya mampu menjalankan peran sakral dalam upacara.
2. Berayun di Tali Pohon Cempaka atau Beringin
Sesuai namanya, para penari Rejang Ayunan menari sambil bergelantungan dan berayun di tali yang diikatkan pada pohon cempaka atau beringin. Gerakan ini mencerminkan transisi kehidupan dan penyucian diri.
3. Digelar Sekali Setahun Saat Purnama Kalima
Rejang Ayunan hanya dipentaskan setahun sekali, tepatnya saat Purnama Kalima, sebagai bagian dari upacara besar di Pura Puseh Bale Agung. Warga meyakini pelaksanaannya dapat menjaga keharmonisan desa secara sekala-niskala.
4. Tradisi Penyucian dan Regenerasi Budaya
Selain sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi, tarian ini juga menjadi simbol penyucian diri dan bagian dari sistem pendidikan adat—di mana para dehe teruna diperkenalkan pada nilai-nilai luhur warisan leluhur.
5. Dilestarikan Secara Turun-temurun
Meski hanya dilakukan sekali dalam setahun, tradisi ini dijaga dengan disiplin tinggi. Para penari dilatih oleh tokoh adat dan tidak sembarang orang boleh ikut. Prosesi ini diyakini mampu menjaga keseimbangan alam dan spiritual desa. (Pande Paron/balipost)