
DENPASAR, BALIPOST.com – Di balik suara “kok-kok” yang terdengar dari leher sapi, tersembunyi sebuah tradisi tua yang terus hidup di tengah masyarakat Bali, khususnya di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.
Namanya okokan. Bukan sekadar alat peternakan, okokan berkembang menjadi bagian penting dari ritual keagamaan, seni pertunjukan, hingga simbol pelestarian budaya lokal.
Berikut lima fakta menarik tentang tradisi okokan yang menjadikannya unik sekaligus sakral di mata masyarakat Bali:
1. Okokan Berasal dari Lonceng Kayu Sapi
Nama okokan berasal dari lonceng kayu yang biasa diikatkan pada leher sapi atau kerbau. Ketika hewan berjalan, lonceng ini mengeluarkan suara khas “kok-kok”. Awalnya, fungsinya adalah untuk membantu petani melacak ternaknya sekaligus mengusir roh jahat dari sawah dan ladang.
2. Digunakan untuk Mengusir Butakala Menjelang Nyepi
Menjelang Hari Raya Nyepi, warga Kediri rutin mengadakan ritual ngerupuk dengan membawa okokan keliling desa. Suara okokan dipercaya mampu mengusir butakala atau roh jahat agar wilayah menjadi bersih secara niskala sebelum Tahun Baru Saka tiba. Tradisi ini berjalan berdampingan dengan pawai ogoh-ogoh, namun mengedepankan kekuatan bunyi sebagai elemen penyucian.
3. Diperagakan dalam Pertunjukan Seni Budaya
Tak hanya sakral, okokan kini juga menjadi daya tarik dalam seni pertunjukan. Puluhan hingga ratusan pemuda memainkan okokan secara ritmis dan penuh semangat, sering kali dipadukan dengan gerakan tari yang menghentak. Penampilan ini sering ditampilkan dalam festival budaya seperti Pesta Kesenian Bali (PKB).
4. Warisan Leluhur yang Terus Dilestarikan
Bagi masyarakat Kediri, okokan bukan sekadar tradisi, tetapi warisan identitas budaya yang wajib dijaga. Berbagai kegiatan pelestarian dilakukan, mulai dari pelatihan di banjar, lomba antarkelompok, hingga pengenalan kepada generasi muda sejak usia dini.
5. Berpotensi Jadi Daya Tarik Wisata Budaya
Dengan keunikannya, okokan kini mulai dipromosikan sebagai atraksi budaya dalam program desa wisata. Pemerintah daerah mendorong pelestarian tradisi ini agar tidak hanya hidup di ruang sakral, tapi juga bisa dinikmati sebagai warisan budaya dalam konteks pariwisata berkelanjutan. (Pande Paron/balipost)