
DENPASAR, BALIPOST.com – Upacara Mapinton Ida Bhatara Dewa Ayu merupakan tradisi sakral yang dilaksanakan oleh krama Desa Adat Jimbaran. Prosesi ini tidak hanya menyatukan komunitas, tetapi juga menjadi pengejawantahan nilai-nilai spiritual masyarakat Bali.
Prosesi ini menjadi simbol pengabdian dan penghormatan kepada Ida Sesuhunan yang berstana di Pura Ulun Siwi Jimbaran, sebelum beliau ‘mepamit’ dan distanakan sementara di Pura Luhur Uluwatu.
Pelaksanaan mapinton ini menjadi unik dan menarik perhatian banyak pihak karena diiringi sekitar 25 ribu warga Desa Adat Jimbaran. Mereka akan berjalan kaki sejauh 15 kilometer menuju Pura Luhur Uluwatu.
1. Filosofi dan Waktu Pelaksanaan
Secara etimologis, “Mapinton” berasal dari kata “pinton” yang berarti memperkenalkan atau mempersembahkan. Dalam konteks ini, Mapinton adalah prosesi spiritual untuk memperkenalkan kehadiran niskala Ida Bhatara kepada alam semesta, manusia, dan unsur-unsur sakral lainnya.
Upacara ini diyakini sebagai bentuk pemberitahuan secara niskala bahwa Ida Bhatara hendak melakukan perjalanan ke kahyangan jagat, sekaligus mohon restu dan perlindungan agar seluruh proses berjalan lancar.
Dalam kondisi normal, upacara ini dilakukan dua tahun sekali.
Upacara ini terakhir dilaksanakan pada 2017 dan seharusnya diadakan kembali pada 2019. Karena saat itu terdapat sedikit persoalan rencana upacara dilangsungkan pada 2020. Namun, karena pandemi COVID-19, pelaksanaan upacara ini baru dilakukan 2023 atau 2 tahun lalu.
Prosesi upacara diawali dengan mapeed atau ngiring Sesuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu Jimbaran Mesupati atau Mapinton dari Pura Ulun Siwi, Jimbaran menuju ke Pura Luhur Uluwatu pada pukul 06.00 WITA.
Selama prosesi mapeed atau ngiring menuju Puru Luhur Uluwatu, sejumlah warga Jimbaran, Ungasan, dan Pecatu yang tidak ikut ngiring secara ikhlas memberikan bantuan berupa air minum atau pun buah kepada para krama yang sedang ngiring. Sehingga para krama yang kehausan bisa mengambil air atau buah yang telah disiapkan oleh para warga.
Setelah tiba di Pura Pererepan, Desa Pecatu sekitar pukul 11.00 WITA, semua krama yang mengiringi Ida Sesuhunan diberikan waktu beristirahat. Sekitar pukul 13.00 WITA dilanjutkan para krama berjalan kaki ke Pura Luhur Uluwatu.
Usai pelaksanaan upacara di Pura Luhur Uluwatu, Ida Bhatara beserta iring-iringannya kembali ke Pura Pererepan, Pecatu.
Di malam hari pada pukul 23.00 WITA dilakukan pementasan Calonarang hingga pukul 03.00 dini hari.
Upacara pun dilanjutkan kembali dengan berjalan kaki menuju Desa Adat Jimbaran pada pukul 06.00 WITA. Diperkirakan para krama sampai di Pura Ulun Swi sekitar pukul 09.30 WITA.
2. Hewan Upakara dan Keistimewaannya
Dalam upacara ini, berbagai jenis hewan digunakan sebagai sarana upakara. Salah satu yang paling dominan adalah babi guling, yang digunakan sebagai simbol pengorbanan dan pelengkap banten bebangkit.
Selain itu, dalam tingkatan upakara tertentu juga bisa digunakan ayam putih, itik, hingga sapi, tergantung tingkatan yadnya dan hasil keputusan desa adat.
Keistimewaan dari penggunaan hewan dalam upacara ini terletak pada pemilihan jenis dan kualitas hewan yang dipersembahkan.
Hewan-hewan tersebut dipilih dengan cermat dan diperlakukan dengan penuh penghormatan sebelum dijadikan persembahan dalam upacara.
3. Keunikan dan Pantangan dalam Upacara
Prosesi Mapinton Ida Bhatara Dewa Ayu memiliki beberapa keunikan yang membedakannya dari upacara lainnya.
Salah satunya adalah iring-iringan pemedek yang berjalan kaki sejauh 15 kilometer dari Pura Ulun Swi Jimbaran menuju Pura Luhur Uluwatu, yang mencerminkan semangat kebersamaan dan pengabdian masyarakat.
Selain itu, terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh para krama selama prosesi berlangsung.
Misalnya, para krama yang melakukan ngunying selama Ida Bhatara ngadeg memiliki pantangan tersendiri, yakni tidak boleh memakan daging babi, daging sapi, dan tidak boleh melangkahi tali sapi yang digunakan.
Hal ini disebabkan oleh nilai-nilai kesucian dan penghormatan terhadap hewan-hewan yang dianggap sakral dalam tradisi Bali.
Pantangan lain bagi para krama yang mengikuti prosesi ini adalah tidak boleh mengenakan saput poleng (kain hitam putih, Red) dan sekar pucuk. Hal ini diketahui secara turun menurun oleh masyarakatnya.
Sehingga saat ada pecalang yang mengenakan saput poleng mereka tidak bisa masuk ke dalam Pura Luhur Uluwatu dan harus menunggu di luar pura.
Upacara Mapinton Ida Bhatara Dewa Ayu tidak hanya menjadi simbol penghormatan kepada Ida Bhatara, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai spiritual, budaya, dan kebersamaan yang kuat dalam masyarakat Bali.
Melalui prosesi ini, masyarakat Desa Adat Jimbaran menunjukkan komitmen mereka dalam menjaga dan melestarikan tradisi leluhur yang sarat makna. (Pande Paron/balipost)