John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Setiap teknologi baru pasti membawa perubahan transformasional di sektor pendidikan, sebagaimana yang terjadi pada sektor industri. Seperti di bidang industri, pergeseran paradigma juga terjadi di sektor pendidikan.

Di sektor pendidikan, pergeseran tersebut umumnya dikategorikan sebagai Education 1.0, di mana sistem mekanik seperti mesin ketik pertama kali dikenalkan; Education 2.0 ditandai oleh hadirnya listrik, penggunaan komputer dan kalkulator; Education 3.0 ditandai oleh pengenalan luas terhadap komputer dan internet; Sedangkan Education 4.0 menggunakan teknologi informasi, peralatan ICT, dan digitalisasi.

Di era ini temuan terhadap media cetak memungkinkan produksi massal untuk buku, dan memudahkan akses pendidikan oleh masyarakat, kapan dan di mana saja sesuai ketubuhan.

Teknologi juga memendorong perubahan dalam pelbagai metode pengajaran. Sama halnya dengan pengenalan terhadap sistem ban berjalan untuk menekan efisiensi di dalam proses kerja pabrik, standardisasi yang menutamakan efisiensi juga muncul dalam dunia pendidikan. Hal tersebut berdampak pada pendidikan dan pengajaran yang menjadi lebih formal dan terstruktur.

Muara dari semua dinamika itu, hemat penulis, berdampak terhadap perubahan peran guru. Kalau dulu guru dianggap sebagai sumber utama dan penjaga marwah pengetahuan, kini sosok guru dipandang sebagai mentor, couch, curator dan kolaborator. Peran murid juga beralih dari pembelajar pasif menjadi pemikir aktif, independen, dan kreatif.

Baca juga:  BRI Terus Garap Pertumbuhan Baru UMKM

Dengan datangnya Chat GPT, Midjourneys, Stabble Diffusion, DALL, dll., menurut sejumlah pakar pendidikan, kita sekarang sudah memasuki era Education 5.0.Teknologi yang selama ini hanya dipandang sebagai alat penolong bagi penyebaran dan pengumpulan pengetahuan, sudah mulai mengintrusi ruang-ruang kreatif kita, yang sebelumnya dianggap sebagai domain eksklusif manusia. Peralatan AI bahkan pada fase beta untuk pengujian, bahkan sudah mampu menciptakan karya-karya seni yang semakin sulit dibedakan dari kreasi manusia.

Demikian pula, dalam hal penulisan paper ilmiah yang ketat dan bebas interfensi, manusia mulai dibantu oleh AI. Maka, penting kiranya bagi kita untuk merangkul teknologi AI dan memanfaatkannya sebagai bantuan untuk pengisian daya super bagi kreativitas dan produktivitas kita. Tinggalkan ambisi untuk berlomba dengan mesin, mengingat mesin dapat belajar dan beradaptasi miliaran kali lebih cepat terhadap perubahan waktu dan bereaksi hanya dalam hitungan detik.

Agar tetap relevan di era Education 5.0, kita perlu mempertimbangkan sejumlah hal berikut. Pertama, inovasi akan terus berkembang di masa datang. Inovasi akan melampaui kreativitas dan perannya akan berkisar pada upaya melahirkan nilai bagi ide-ide. Inovasi akan mendukung gagasan bahwa, koneksi dan jejaring kita lebih penting dari pada pengetahuan dan kreativitas. Dengan demikian, saatnya membangun jejaring dengan orang dari latar belakang budaya dan sikap yang berbeda. Kita tidak bisa lagi menjadi seperti katak dalam tempurung.

Baca juga:  Transformasi Berkelanjutan, Laba BRI Tumbuh 106,4 Persen

Kedua, kita harus belajar menjadi pemain tim yang efektif. Yang terpenting sekarang bukan lagi keunggulan pribadi, melainkan seberapa baik kita sebagai anggota tim. Berhasil tidaknya manusia melewati pelbagai ujian waktu, sepenuhnya diukur dari kemampuan kita untuk berkoordinasi, bekerjasama, dan hidup berdampingan.

Ketiga, baik untuk kemajuan karir maupun untuk perbaikan kurikulum, yang akan mendesak adalah kemauan untuk terus belajar dan mengasah keterampilan. Era belajar hafalan sudah berakhir. Usia penyimpanan pengetahuan juga menjadi semakin pendek. Maka penting bagi peserta didik, fakultas, dan tenaga kerja untuk belajar mengintegrasikan berbagai peralatan baru seperti ChatGPT dll., ke dalam proses belajar dan bekerja.

Ketidak mampuan untuk belajar dan menguasai keterampilan-keterampilan mutakhir ini akan melumpuhkan kita, tidak hanya dalam hal pengembangan peralatan dan teknologi masa depan, tetapi sekaligus akan menghambat efisiensi kita. Dalam konteks ini, kita perlu menyadari bahwa, teknologi dapat merupakan pelayan yang berguna tetapi majikan yang berbahaya. Maka, selamanya kita yang harus menjadi tuan atas teknologi.

Baca juga:  Nurhayati, Perempuan Antikorupsi

Keempat, jika hendak memutuskan jalur karir tertentu, kita jangan sampai jatuh ke dalam sindrom FOMO (Fear of Missing Out). Tentukan keputusan berdasarkan suara hati, tetap biarkan pikiran mengambil alih dan melakukan semua rencana berikutnya. Ini senada dengan pikiran seorang penulis kawakan, “biarkan semua hasrat dan keinginanmu dikendalikan oleh hati, dan semua pencapaianmu dituntun oleh pikiran.” Para siswa sekolah perlu kita dorong untuk mengejar karir dengan hambatan masuk yang lebih besar sekaligus mempertimbangkan tuntutan keterampilan yang akan diambil alih mesin.

Kelima, menyadari kenyataan bahwa, jika tugas-tugas rutin dan klerikal akhirnya diambil alih mesin, teknologi juga akan menciptakan kategori kerja baru yang hanya bisa dikerjakan oleh manusia atau setidaknya sampai kemampuan mesin bisa setara dengan kemampuan manusia. Kompetisi antara manusia dan mesin, akan terlihat seperti metafora pertandingan antara kelinci dan penyu, dengan catatan sang kelinci tidak butuh makan dan tidur. Di masa datang, manusia dan mesin akan terus saling melengkapi dan memanfaatkan tenaga bawaan mereka masing-masing dalam rangka menyelesaikan pekerjaan tertentu.

Penulis adalah pendidik dan pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN