Ketua PUTRI Bali Inda Trimafo Yudha (tengah), Senin (13/11/2023), memberikan keterangan pers. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Untuk mencegah risiko kecelakaan saat berwisata di Daya Tarik Wisata (DTW), sertifikasi urgen diterapkan. Hal ini pun pernah disuarakan Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI) Bali sebelumnya.

Menurut Ketua PUTRI Bali Inda Trimafo Yudha, Rabu (11/12), sertifikasi DTW sangat diperlukan saat ini mengingat DTW di Bali sebagian besar merupakan tempat wisata berbasis alam yang mana kondisi alam tak bisa diprediksi. Namun, paling tidak dengan dengan sertifikasi dapat meningkatkan kewaspadaan.

Untuk memitigasi hal yang tidak diinginkan ia berharap pemerintah dapat mendorong sertifikasi DTW baik pada SDM yang bekerja, fasilitas pariwisatanya, termasuk bangunannya. “Peningkatan digitalisasi sangat penting juga baik untuk administrasi, maupun komunikasi agar lebih cepat,” ujarnya.

Ia menambahkan, aktivitas pariwisata anggota PUTRI Bali banyak yang berbasis petualangan alam, outdoor, rafting, waterpark. Oleh karena itu faktor alam memang sulit diprediksi. “Saatnya kami menyuarakan kembali agar pemerintah jemput bola, melakukan komunikasi intens dengan kami agar ada sertifikasi tempat tujuan wisata baik SDM, infrastruktur dan skala mana yang sudah dapat sertifikasi layak dan baik,” bebernya.

Baca juga:  DJKN Lelang 11 Produk UMKM

Setelah sertifikasi, perlu juga diaudit secara rutin oleh tim atau badan resmi yang terdiri dari pelaku perseorangan, apakah SOP tetap dijalankan sebagaimana mestinya. Badan tersebut nantinya juga memastikan safety, security, dan health berjalan dengan baik. Sehingga di dalam badan tersebut, perlu unsur profesional yang mengaudit dan expert di bidangnya masing-masing.

Selain itu ia menegaskan jika memang cuaca tidak mendukung aktivitas outdoord maka pengelola tempat wisata agar tidak ragu menunda aktivitas dengan kompensasi uangnya hrus dikembalikan.

Sementara itu, pengamat pariwisata I Made Sulasa Jaya mengatakan pengelola DTW atau tempat wisata perlu mengadopsi konsep Tri Hita Karana (THK). Sehingga, pengelola dapat peka terhadap kondisi alam dan sesama manusia sehingga dapat memitigasi risiko yang mungkin terjadi.

Ia mengatakan THK telah diadopsi ke dalam Kode Etik Pariwisata Global oleh WTO. Hal ini menunjukkan pentingnya keberlanjutan dalam industri pariwisata global.

Baca juga:  Denpasar Terancam Jadi Kota Sampah, DLHK Diminta Cari Solusi Komprehensif

THK mencerminkan nilai-nilai yang sangat relevan dengan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang harus dijalankan oleh destinasi wisata di seluruh dunia. Dengan demikian, THK mendorong pengelolaan pariwisata yang tidak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi tetapi juga memperhatikan aspek sosial-budaya dan lingkungan.

Pentingnya THK bukan saja bagi masyarakat Bali namun juga bagi dunia. Maka dari itu harus dilaksanakan dengan sebaik – baiknya di tanah Bali.

Namun ia melihat, di balik penerimaan dunia terhadap manfaat pelaksanaan konsep THK, justru sebaliknya di Bali sendiri kreativitas dan inovasi dalam pelaksanaan konsep Tri Hita Karana (THK) untuk mewujudkan Bali yang berkualitas masih lemah.

“Mulai dari tingkat pemahaman sampai tingkat inovasi. Oleh karenanya jika dibiarkan maka kelemahan ini akan lebih banyak berdampak negatif pada lingkungan maupun kejiwaan masyarakat Bali dan akhirnya akan berdampak pada nilai pariwisata budaya Bali,” ujarnya.

Selain itu, THK bisa menjadi potensi luar biasa untuk meningatkan daya saing Bali di kancah internasional, karena dalam THK ada nilai nilai empati atau kepedulian, tidak saja saling empati antara manusia, namun juga terhadap lingkungan yang akan menjadi tren pariwisata kedepan dengan istilah “green” atau “blue tourism”.

Baca juga:  Sempat Minta Maaf dan Menangis, WN Rusia Menari di Pura Pengubengan Dideportasi

Tantangannya juga cukup besar dalam memahami hingga menginovasi pelaksanaan THK untuk memberikan kemanfaatan yang lebih besar kepada masyarakat Bali. Seperti cara memaknai kearifan lokal berbasis agama Hindu Bali agar memiliki wawasan atau berlogika global.

Contohnya yang orang Hindu Bali dalam kehidupan sehari-hari, sehabis memasak, “masaiban” atau “ngejotin” kepada sesama kehidupan. Budaya ini juga sekaligus memiliki logika untuk mengawasi atau mengontrol fungsi tempat-tempat “banten saiban” tersebut ditempatkan.

Nilai-nilai adat budaya lokal yang berlogika global ini patut dijaga dengan baik. D isamping untuk memberikan pengalaman unik dan otentik kepada wisatawan yang datang ke Bali, namun juga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat Bali. “Ini adalah bentuk antisipasi perkembangan modernisasi yang begitu pesat,” jelasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN