Prof. Rumawan Salain. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali segera memiliki transportasi massal berupa kereta bawah tanah berupa Mass Rapid Transit (MRT). Namun, proyek ini justru diragukan efektivitasnya. Apalagi, jika dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan menyeluruh. Pembangunan MRT yang berada 30 meter di bawah tanah ini bisa memberi dampak buruk bagi masa depan Bali.

Pengamat Tata Ruang dari Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa (Unwar), Prof. Rumawan Salain, mengapresiasi terobosan Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadirkan solusi transportasi modern melalui MRT ini. Prof. Rumawan menyinggung minimnya presentasi proyek ini di DPRD Bali.

Dengan nilai proyek yang mencapai ratusan triliun rupiah, ia khawatir Bali sedang “dijual”. “Saya takut Bali ini dijual. Tanah di atas sudah habis, sekarang di bawah tanah mau dibangun MRT. Orang Bali disuruh bangga, tapi apa benar murah?” tanyanya, Jumat (6/9).

Baca juga:  Hari Ini, Bali Alami Penambahan Kasus Positif COVID-19 Tertinggi

Tidak hanya itu, kedalaman proyek yang diperkirakan mencapai 30 meter ke bawah tanah ini juga menjadi
perhatian. Menurut Prof. Rumawan, pembangunan ini
berpotensi merusak struktur tanah dan mengganggu
ekosistem. “Saya khawatir, proyek ini akal-akalan saja karena sudah kehabisan ide untuk membangun di atas tanah,” tandasnya.

Selain masalah teknis, ia juga menekankan pentingnya
memperhitungkan dampak sosial bagi masyarakat yang
selama ini bekerja di sektor transportasi darat. Apakah
mereka akan diakomodir atau malah kehilangan mata
pencaharian mereka. Hal ini mesti diperhitungkan dengan matang dalam perencanaannya.

ia meragukan pembangunan MRT ini bisa mengatasi kemecetan yang ada. Justru kehadiran MRT hanya akan memindahkan kemacetan ke daerah lainnya di Bali.

Menurut Prof. Rumawan, proyek ini memerlukan perhitungan serius, terutama karena infrastruktur yang dibutuhkan sangat mahal dan kompleks. Belum lagi, integrasi dengan transportasi publik lainnya, seperti taksi di bandara, yang masih belum jelas arah kebijakannya.

Baca juga:  Diguyur Hujan, Sholat Ied di Lapangan Renon

Prof. Rumawan mengingatkan agar Pemprov Bali lebih bijak dalam memanfaatkan berbagai opsi transportasi, seperti hibah BRT berbasis listrik dari Pemerintah Australia yang baru saja ditawarkan pada 2023. Apakah integrasi antara MRT, BRT, dan Bus Trans Metro Dewata sudah dipikirkan dengan baik atau bagaimana.

Seperti diketahui, perencanaan pembangunan proyek MRT Bali ini, PT Bali Sarana Dwipa Jaya (BSDJ) telah menetapkan PT Indotek sebagai kontraktor utama bersama dengan China Railway Construction Corporation (CRCC), yang akan bekerja sama dengan kontraktor lokal Bali, PT Sinar Bali Bina Karya.

Sesuai kesepakatan, pembangunan MRT Bali akan melalui empat fase. Fase pertama mencakup Bandara Ngurah Rai, Sentral Parkir Kuta, Seminyak, Berawa, dan Cemagi. Fase kedua meliputi rute Bandara Ngurah Rai, Jimbaran, Universitas Udayana, dan Nusa Dua. Fase ketiga akan menghubungkan Sentral Parkir Kuta dengan Sesetan, Renon, dan Sanur. Dan fase keempat akan melalui Renon, Sukawati, dan Ubud.

Baca juga:  Sikapi Kelangkaan Gas Melon, Koster Kontak Menteri ESDM Mohon Tambahan Kuota

Dimana, fase pertama ini ditarget rampung awal tahun 2028, dan keseluruhan fase satu dan dua diselesaikan pada tahun 2031. Total nilai investasi dari 2 fase pertama adalah USD10.8 miliar, sedangkan biaya untuk total 4 fase pengerjaan mencapai USD20 miliar.

Fase Bandara-Kuta dan fase Bandara-Jimbaran-Unud-Nusa Dua ditargetkan dapat beroperasi pada akhir kuartal dua atau awal semester pertama tahun 2028, dan secara keseluruhan fase satu dan fase dua akan beroperasi penuh pada akhir tahun 2031. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN