Lahan pertanian dengan budaya dan sistem subaknya di Badung. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Alih fungsi lahan yang semakin tinggi akibat pembangunan yang masif dikhawatirkan membuat semakin banyak subak di Bali tanpa sawah. Dalam waktu 10 tahun, jika kondisi tetap seperti saat ini, tanpa ketegasan kebijakan dari pemerintah, maka akan semakin banyak subak yang tinggal nama karena tanpa lahan sawah.

Akademisi Universitas Udayana yang fokus pada kajian subak terintegrasi dengan pariwisata, I Made Sarjana, Senin (20/5) saat mengunjungi subak sembung yang merupakan side event ke-37 dari WWF-10 mengatakan, dari hasil penelitiannya di enam kabupaten di Bali yaitu Subak Sunsang Tabanan, Subak Tungkub Dalem, Kekeran, Mengwi, Subak Legi, Blahbatuh, Gianyar, Subak Delodbanjarangkan, Klungkung, Subak Kuwung Cangah, dan salah satu subak di Buleleng, dekat Lovina. Hasilnya, tantangan subak di antaranya, debit air menurun, polusi limbah cair dan sampah plastik, limbah RT, limbah celupan.

Lemahnya generasi muda turun ke pertanian, banyak permintaan perumahan sehingga alih fungsi lahan tinggi. “Dan yang menarik adalah adanya pengembang nakal yang mana ketika membeli tanah berlokasi di tengah–tengah sawah, ketika membangun, saluran airnya dihabiskan. Sehingga petak sawah yang berada di bawah (hilir) menjadi kering karena tak dapat aliran air. Sehingga mau tidak mau, lahan harus dijual,” ungkapnya.

Baca juga:  Satu dari 4 PDP COVID-19 di Buleleng Sembuh, Diperbolehkan Pulang

Dengan kondisi ini ia berharap masing- masing stakeholder agar tidak melakukan itu lagi dan menyadari sikap tenggang rasa terhadap subak. “Kalau mau membangun, ya tetap beri ruang untuk aliran air ke sawah-sawah yang lain,” pungkasnya.

Selain itu ia juga menemukan kendala, ketika penjualan tanah sawah oleh salah satu anggota subak dilakukan tanpa sepengetahuan pekaseh (pengelola) subak, maka akan kesulitan untuk meminta kewajiban anggota subak tersebut, mengingat kepemilikan lahan sudah berbeda. “Masyarakat berharap pemerintah lebih tegas dalam mencegah alih fungsi lahan,” ujarnya.

Dari hasil penelitian itu pula, ia menemukan satu pola subak yang dapat menahan alih fungsi lahan seperti yang terjadi di Subak Tungkub Dalem, Kekeran. Adanya kesamaan pandang dan visi dari tiga lembaga di desa yaitu Desa Dinas, Desa Adat, dan Subak memiliki pandangan sama dalam menjaga kelestarian subak.

“Di sana alih fungsi lahan relatif bisa ditahan. Ternyata ada kerjasama 3 lembaga desa dinas, bendesa dan pekaseh. Desa dinas memiliki kebijakan melarang alih fungsi lahan, walaupun ada yang membangun rumah tapi di desa tersebut karena di rumahnya sudah terlalu banyak KK,” ujarnya.

Baca juga:  Kebakaran di Kantor Samsat Renon Ludeskan 9 Ruangan, Kerugian Capai Ratusan Juta

Sementara di desa adat, pembelian lahan sawah di area tersebut tidak diperbolehkan untuk mengalihfungsikan. Namun begitu akan membangun rumah atau bangunan, maka akan dikenai penanjung batu yang sangat tinggi serta menjadi krama desa adat dengan segala kewajibannya. Dan di Lembaga subak sendiri juga akan mengenakan penanjung batu yang tinggi bagi anggota subak yang mengalihfungsikan lahannya. “Makanya di sana relatif terjaga sawahnya,” ungkapnya.

Menurutnya, jika pola ini bisa diterapkan, kemungkinan akan mampu mengatasi berkurangnya subak dan lahan sawah. “Jadi di sana ada kesamaan pandangan dari tiga lembaga itu,” imbuhnya.

Ia menyebut tantangan-tantangan tersebut mungkin akan membuat semakin banyak subak yang semakin tak punya lahan sawah. Seperti yang terjadi di Denpasar, ada 1 subak di Peraupan, Denpasar sejak 2018 tidak memiliki sawah tapi namanya tetap ada. “Pagi tadi ada pertanyaan dari tim Delft University Belanda dan Water Heritage dari UNESCO, jika sawahnya tidak ada, bagaimana dengan subak? Petani dan juga pekasehnya menyebut… ya hanya namanya saja,” tuturnya.

Selain itu juga ada subak yang lahan sawahnya di bawah 10 ha seperti di Ubung, di Intaran Sanur yang hanya 2 ha. Menurutnya, kawasan seperti itu perlu dapat perhatian. “Makanya ada pencanangan subak Lestari di Denpasar sejak 2018 cuma konsep ini implementasi di lapangan yang perlu diperdalam dan saling mengingatkan dari masing–masing stakeholder,” ujarnya.

Baca juga:  Tol Gilimanuk-Mengwitani Segera Dibangun, Jarak Tempuh Jadi 1 Jam

Berdasarkan data Unit Subak LPPM Unud, jumlah subak di Bali ada 1.596 pada tahun 2023. Data pasti penurunan jumlah subak diakui ia tidak memiliki namun berkaca dari kasus subak di Peraupan, Denpasar, kemungkinan ada subak yang hanya nama namun tidak ada lahan sawah.

Menurutnya, ide Subak Lestari yang pernah dicanangkan itu, bagus, dan harus ada kesepakatan di Lembaga subak berapa persen sawah itu harus ada. Menurut Sarjana, yang terpenting menurutnya adalah ketegasan dari pemerintah jika subak yang sudah tidak memiliki lahan sawah agar ditutup, karena syarat berdirinya subak adalah ada sawah, air irigasi, petani, dan pura.

“Dengan tingginya alih fungsi lahan di berbagai lokasi, tidak hanya di Denpasar, saya pikir dalam waktu 10 tahun ke depan, jika kondisinya masih tetap seperti ini, kemungkinan akan banyak disusul subak subak yang lain yang tidak memiliki tanah sawah,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

 

BAGIKAN