I Nyoman Esha Pradnyana Sucipta Putra. (BP/Istimewa)

Oleh dr. I Nyoman Esha Pradnyana Sucipta Putra, Sp.Bp-RE., M.Ked.Klin

Perkembangan ilmu bedah plastik rekonstruksi dan estetika di dunia semakin pesat seiring perkembangan teknologi yang mendukungnya dalam peralatan bedah plastik. Di Indonesia, praktik bedah plastik cukup populer dan banyak diminati oleh masyarakat, baik bedah plastik untuk rekonstruksi wajah dan anggota tubuh lainnya, maupun estetika.

Bedah plastik adalah spesialisasi medis berhubungan dengan koreksi cacat, perbaikan penampilan, dan pemulihan fungsi yang hilang. Catatan pertama mengenai operasi plastik rekonstruktif ditemukan dalam teks Sansekerta India kuno, yang menggambarkan operasi rekonstruksi hidung dan
telinga.

Di Yunani dan Roma kuno, banyak dukun melakukan operasi plastik kosmetik sederhana untuk memperbaiki bagian tubuh yang rusak akibat mutilasi perang, hukuman atau penghinaan. Pada Abad Pertengahan,
perkembangan semua ilmu kedokteran, termasuk bedah plastik, terhambat. Zaman baru.

Minat terhadap rekonstruksi bedah bagian tubuh yang dimutilasi diperbarui pada abad XVIII oleh sejumlah besar ahli bedah yang antusias dan karismatik, yang menguasai disiplin bedah dan menjadi seniman sejati
yang menciptakan bentuk-bentuk baru. Era modern. Pada abad XX, bedah plastik berkembang sebagai cabang kedokteran modern yang mencakup berbagai jenis bedah rekonstruktif, bedah tangan, kepala dan leher, bedah mikro dan replantasi, pengobatan luka bakar dan gejala sisa, serta bedah estetika.

Baca juga:  "Tuak adalah Nyawa"

Bedah plastik telah dipandang sebagai sebuah bagian dalam industri pariwisata sejak 1990-an. Globalisasi telah memungkinkan setiap bagian dari manusia menjadi komoditas dagang.

OECD mendefinisikan pariwisata medis sebagai tindakan konsumen ketika memilih melakukan perjalanan lintas batas internasional dengan maksud menerima beberapa bentuk perawatan medis. Perawatan ini dapat mencakup berbagai layanan medis seperti transplantasi organ, atau bedah plastik (Lunt, dkk, 2011). Lubowiecki – Vikuk juga memberikan pengertian tentang pariwisata medis yakni sebagai kegiatan yang dilakukan dengan sadar, dimana wisatawan (turis medis) bepergian ke luar negeri untuk menerima, memperoleh, atau melestarikan kesehatannya atau merekonstruksi penampilannya, kadang-kadang kegiatan pariwisata medis ini dikombinasikan dengan paket relaksasi, regenerasi kekuatan fisik dan mental, jalan-jalan, dan hiburan.

Baca juga:  Dukung Pariwisata Gianyar, BNI Serahkan Bantuan 2 Unit Shuttle Bus

Untuk dapat secara sadar seorang konsumen menentukan tempat mereka ingin melakukan perawatan medis di luar negeri, K. Pollard membaginya menjadi 7 faktor penentu utama yakni: 1. Kedekatan Geografis, yang menentukan waktu tempuh perjalanan mencapai destinasi tujuan. Jika mungkin pasien akan memilih penerbangan singkat atau langsung dan tidak melalui prosedur visa yang rumit; 2. Kedekatan Budaya, termasuk di dalamnya bahasa, kebiasaan, dan praktik; 3. Citra Destinasi, yaitu reputasi suatu negara dan stereotype yang melekat, akan mempengaruhi persepsi pasien akan fasilitas pengobatan tertentu; 4. Infrastruktur Destinasi atau Level Fasilitas Pelayanan;

5. Iklim Lingkungan Destinasi, termasuk Atraksi Wisata yang Ditawarkan, Fasilitas Penunjang, susunan faktor-faktor yang memungkinkan menarik pasien mengunjungi tempat tersebut; 6. Risiko dan Hasil, yaitu
review perbandingan hasil dari praktik medis serta potensi risiko dalam melakukan prosedur medis serupa di negara lain; pertimbangan keselamatan, jaminan pengobatan, track record medis negara tujuan, dan sebagainya; 7. Harga, tidak hanya menghitung biaya pengobatan, tetapi juga biaya perjalanan, biaya akomodasi, dan asuransi. (Pollard, 2015).

Baca juga:  Profesi Guru Era Society 5.0

Glinor dan Beaten juga menjabarkan faktor penunjang wisatawan medis memilih untuk bepergian ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan medis yaitu: Kedekatan (Familiarity), baik budaya, bahasa, kebiasaan, agama, sejarah, akan membuat pasien merasa lebih
nyaman karena merasa akrab dengan sistem dan mampu berbicara dalam satu bahasa.

Laporan yang berasal dari CHAFEA yang dipublikasikan pada Agustus 2014 memberikan titik terang mengenai faktor-faktor pasien menentukan destinasi mereka
melakukan kunjungan ke negara lain untuk mendapatkan perawatan medis: Biaya pengobatan di dalam negeri lebih mahal dibandingkan biaya di negara lain; Waktu tunggu pengobatan di negara lain relatif lebih pendek; Kepercayaan terhadap sistem medis
di negara lain lebih baik.

Penulis, dokter Spesialis Bedah Plastik Rekontruksi dan Estetika, Magister Kedokteran Klinis

BAGIKAN