Viraguna Bagoes Oka. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – APBD Bali pada 2023 defisit Rp1,9 triliun Sejumlah akademisi menyatakan tak masalah karena mampu memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi Bali 2023 sebesar 5,71% (ctc). Sedangkan di sisi lain APBD defisit menunjukan APBD belum berdaya guna bagi masyarakat.

Pengamat ekonomi Viraguna Bagoes Oka mengatakan, defisit APBD 2023 tidak terlepas daripada kebiasaan dan budaya pola pikir kebablasan, rendahnya rasa ikut memiliki (poor sense of belonging) dan tanggung jawab yang belum optimal serta kepedulian semua pihak. Ini membuktikan bahwa APBD Bali belum sepenuhnya berorientasi mampu berdaya guna bagi masyarakat.

Jika mindset atau pola pikir dan budaya yang tidak peduli terhadap APBD, jika tidak segera dicarikan terobosan dan langkah progresif oleh wakil rakyat terpilih di masa depan, maka ancaman defisit APBD Bali setiap tahun akan terus berulang. APBD Bali yang tidak mandiri akan menjadi momok bagi pariwisata Bali yang berkualitas (quality tourism) di masa depan.

Dengan demikian menurutnya sangat mendesak agar Bali bisa mencari alternatif cerdas. Ini tantangan pemimpin pemimpin Bali (Gubernur/Bupati/Wali kota) dan wakil rakyat terpilih merupakan kombinasi pemimpin Bali, kombinasi figur pemimpin dari partai pemenang dan figur professional serta wakil rakyat di legislatif (DPRD). Sosok seperti itu menurutnya harus mampu memperjuangkan kewenangan khusus yang wajib dimiliki Bali antara lain Otoritas Khusus Pariwisata Bali (OKPB).

Baca juga:  Kembali, Tambahan Pasien COVID-19 Sembuh Nasional Lebih Sedikit dari Kasus Baru

Karena otoritas khusus sebagai wujud tekad untuk meningkatkan kualitas pariwisata, sarana dan infrastruktur yang berkualitas serta didukung oleh sumber dana mandiri dari kewenangan khusus mengelola keimigrasian, pengelolaan pintu masuk Bali (sumber dana VoA) dan kewenangan sistem 1 pintu investasi masuk Bali berbasis kearifan lokal.

Dari otoritas khusus diprediksi Bali akan mampu mendapatkan pemasukan devisa mandiri setara Rp10-15 T per tahun yang sangat mencukupi bahkan surplus untuk bisa membangun Bali Era Baru dengan SDM yang kompeten, kredibel (terlatih) dan terpercaya.

Akademisi dari Undiknas Prof. IB Raka Suardana, Selasa (26/3) mengatakan, defisitnya APBD 2023 bisa berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi Bali yang mana 2020 dan 2021 ekonomi Bali mengalami kontraksi dan mulai pulih akhir 2022 dan 2023. Pertumbuhan ini meningkat signifikan dibandingkan  2022 yang tumbuh 4,84% dan 2021 kontraksi -2,46%.

“Namun, perlu dicatat sumber pertumbuhan ekonomi Bali banyak sekali , tidak hanya dari konsumsi pemerintah saja tapi banyak sumber salah satunya dari sektor swasta, ekspor, dan konsumsi rumah tangga . Salah satu peredaran uang yang besar juga akibat dari pengeluaran pemerintah, yang mana menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Baca juga:  GWK Jadi Lokasi "Host Country Reception" IMF-WB Annual Meeting

Seperti dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa dari sisi pengeluaran, konsumsi pemerintah tahun 2023 tumbuh 28,04% (qtq, triwulan IV 2023 dibanding triwulan IV 2022) dan tumbuh 1,09% (ctc, sepanjang 2023). Meski dalam struktur PDRB dari sisi pengeluaran, konsumsi pemerintah kontribusinya hanya 12,49 persen, namun konsumsi pemerintah memberi andil terhadap pergerakan sektor swasta dan rumah tangga. Kontribusi tertinggi PDRB adalah dari konsumsi rumah tangga yaitu 51,95% pada triwulan IV 2013.

“Jika pengeluaran pemerintah meningkat meskipun terjadi defisit, tentu banyak uang beredar. Ketika uang beredar banyak, tentu ada aktivitas ekonomi yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi,” tandasnya.

Selain itu, penyebab defisit APBD 2023 juga karena tidak tercapainya target Silpa. Hal itu bisa terjadi karena tidak adanya sisa anggaran 2022, yang mana bisa saja sudah dihabiskan di tahun tersebut. Sehingga tidak ada di APBD berikutnya ditambah dengan perencanaan belanja anggaran yang terlalu tinggi, dan tidak memperkirakan proyeksi pendapatan.

“Sebenarnya, apabila APBD mengalami defisit, defisit tersebut dapat dibiayai dengan penerimaan pembiayaan misalnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, penggunaan cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang,” imbuhnya.

Baca juga:  Hari Ini, Ribuan Umat Hindu Melasti ke Segara Tanah Lot

SiLPA merupakan dana milik daerah yang bersangkutan, sehingga tidak menimbulkan risiko fiskal seperti halnya pinjaman. Ketika APBD mengalami defisit, maka tidak ada pendanaan khusus yang disalurkan dari APBN kepada daerah untuk menutup defisit tersebut.

“Ini bahayanya kepala daerah agak sedikit ambisi, jadi perkiraan pendapatannya tidak sesuai dengan program pembangunannya. Memang iya, ada yang namanya direncanakan defisit anggaran. Hal itu dapat dilakukan jika perkiraan pendapatannya lebih kecil dari pengeluaran dan umumnya ditutupi dengan hutang atau pun akan diperkirakan akan ada pendapatan tambahan seperti dari pajak atau bantuan dari pusat. Kalau tidak terjadi, ya. defisit. Tapi kebanyakan ketika terjadi defisit, terjadi kelabakan dan Pemda bisa menjadi berhutang. Ini yang tidak diharapkan,” bebernya.

Jika APBD defisit maka akan berdampak pada ketidakmampuan Pemda membiayai program pembangunan yang sudah direncanakan. Defisitnya anggaran 2023 menurutnya perencanaannya tidak baik karena tidak bisa memproyeksikan dan memprediksi berapa anggaran yang dibutuhkan dan didapat.

Beberapa kali pernah terjadi di Bali yang mana APBD mengalami defisit sehingga banyak rekanan yang tidak terbayar, dan akhirnya menumpuk terus. Seharusnya kondisi ini disikapi sejak awal jangan sampai terjadi karena memang terkadang proyeksi pengeluaran terlalu tinggi dibandingkan dengan proyeksi pendapatan. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN