Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Geliat kehadiran Ogoh-ogoh diketahui muncul sejak tahun  80-an, dengan mendompleng ritual Bhuta Yadnya saat Tawur Kesanga, sehari sebelum hari suci Nyepi, tepatnya pada malam Pangrupukan. Tujuannya menetralisir (nyomya) pengaruh negatif Bhutakala, yang kemudian divisualisasi dalam bentuk ogoh-ogoh.

Secara konseptual keberadaan ogoh-ogoh  sejatinya tidak menjadi bagian dari rangkaian Nyepi. Di waktu lalu tradisi Ngerupuk (Mebuu-buu) dilakukan dengan mengelilingi rumah/banjar hanya dengan membawa obor atau api prapak (dari daun kelapa kering), sambil menyuarakan bunyi-bunyian, serta membawa bawang merah yang digosok-gosokan di setiap sudut rumah dan sanggah/mrajan. Namun kini tradisi tersebut seperti lenyap ditelan euforia arak-arakan ogoh-ogoh.

Dari sisi kreativitas berkesenian memang patut diapresiasi. Kalangan muda (yowana) melalui sekaa teruna sebagai penggerak dan penggarap mampu berimajinasi mentransformasi mitologi bhutakala menjadi karya seni (rupa). Hanya saja kemudian mengalami distorsi akibat sentuhan aroma kapitalisasi bertendensi hedoni. Sehingga lebih menampakkan kesan sebagai sublimasi hasrat penghiburan daripada pengluhuran dengan format ala festival/karnaval yang tentunya memerlukan modal tidak sedikit. Mewujudkan sebuah ogoh-ogoh sudah pasti membutuhkan biaya, dari hitungan ratusan ribu hingga puluhan juta. Bisa dihitung, di Bali terdapat 1.493 (kini menjadi 1500) buah Desa Adat, apabila masing-masing membuat satu saja ogoh-ogoh dengan rata-rata biaya @Rp. 1.000.000,-, bisa dikalkulasi, akan terhimpun dana sebesar Rp1.500.000.000,- (satu setengah miliar).

Baca juga:  Ogoh-ogoh Media Aktualisasi Kreativitas Seni

Angka ini akan bergerak naik karena ada ogoh-ogoh yang dibuat hingga menelan dana 10-20 juta atau lebih. Belum lagi di tingkat banjar yang jumlahnya ribuan plus kelompok penggemar ogoh-ogoh lainnya. Fantastis, dalam satu kesempatan pangrupukan dengan pawai ogoh-ogohnya, puluhan miliar dana krama Bali “telas” dalam semalam.

Memang, kreativitas itu mahal, semisal jika dibandingkan dengan hasil karya seni lukis atau arsitektur, tetapi untuk hasil garapan instan sejenis ogoh-ogoh dengan menghabiskan dana puluhan miliar tentu ini menjadi sebuah hedonisasi tak bertepi. Luar biasa memang, gairah krama Bali men-support dana untuk hal-hal yang berhubungan dengan selebrasi, kontestasi atau party. Sementara  untuk urusan edukasi dalam rangka pembinaan karakter generasi mudanya nyaris tak terdengar apalagi ditangani secara serius lewat gelontoran dana besar.

Baca juga:  Membayangkan Hidup Tanpa Internet

Belum lagi dibalik gemuruh parade ogoh-ogoh terkuak beberapa ekses yang boleh dikatakan memprihatinkan lantaran terus terulang dan terkesan ada pembiaran sehingga dianggap sebagai pembenaran. Oleh siapa, tentu para tokoh masyarakat (adat/agama/pendidik) sebagai penjaga marwah keajegan citra diri orang Bali yang sebenarnya dikenal “baik-baik saja”. Khawatirnya nanti dijustifikasi sebagai tradisi budaya, apalagi dikatakan berdasarkan ajaran Hindu.

Apa saja bentuk pembiaran itu, diantaranya, ketika pangrupukan yang disertai arak-arakan ogoh-ogoh tak jarang diciderai dengan mengonsumsi miras (tuak, arak) dan sejenisnya, konon untuk menaikkan adrenalin agar lebih semangat. Kali ini muncul juga trend baru pemantik gairah pengarak ogoh-ogoh, bukannya diiringi gamelan tradisional bleganjur, tetapi justru ditimpali suara musik menggelegar  dari sound system aviation yang kabarnya sampai menyewa dari Jawa, yang memang disana sudah membudaya ketika menggelar hajatan.

Baca juga:  Ribuan Warga Tumpah Ruah di Pembukaan Kesanga Festival

Lengkap sudah, dalam kondisi terpengaruh miras, di-support pula alunan musik cadas (keras)  tak ayal sangat rentan menyulut emosi seraya unjuk gigi dan siap adu nyali (keberanian). Setidaknya terungkap lewat peristiwa bentrokan antar dua kelompok pemuda di Dusun Sorga dan Dusun Bukit sakti, Desa Lokapaksa Seririt Buleleng tepat saat Pangrupukan berlangsung. Pemicunya diduga akibat pengaruh minuman keras dan penggunaan pick-up berisi sound system (BP, Rabu, 13/3).

Jadilah niat umat lewat pangrupukan hendak menetralisir energi negatif yang dikatakan berasal dari bhutakala, justru bhutakala itu sendiri yang berhasil merasukinya. Tak salah jika muncul pertanyaan, sebenarnya yang bhutakala itu, wujud ogoh-ogohnya atau pengusungnya? Tanpa bermaksud menggeneralisasi, ritual pangrupukan yang merupakan bagian rangkaian hari suci Nyepi sebagai penanda memasuki tahun baru saka justru diwarnai ulah “oknum” yang katanya mengemban misi melestarikan tradisi religi, tapi malah menodainya dengan ekspresi ala bhutakala  bikin riuh, gaduh bahkan rusuh.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN