I Ketut Murdana. (BP/Istimewa)

Oleh I Ketut Murdana

Kualitas rasa indah yang mengalir secara hakiki dalam diri setiap orang, adalah “kebenaran” esensial nan vital. Bangkit, hidup dan berkembannya rasa estetik inilah mengantarkan kepekaan indrawi dan rasa menyaksikan obyek-obyek estetik keberagaman wujud alam semesta beserta segala isinya. Ketakjuban, kesyahduan, kekaguman menguatkan rasa lalu menjadi daya tarik menarik antara subyek dan obyek, hingga menjadi endapan pengalaman estetik, bahkan membangkitkan pengalaman spiritual.

Konfigurasi rasa estetik mewarnai logika berpikir imajinatif mendorong upaya meresapi ketakjuban itu, hingga menimbulkan rasa senang, nikmat, bahagia, sehingga ingin selalu mengenang dan mengulangi rasa kesahduan itu, entahlah pada obyek itu sendiri maupun objek-objek lainnya. Para seniman mengekspresikan sentuhan pengalaman estetik dan pengalaman spiritual itu, menjadi karya-karya yang merekam dalam upaya mengabadikan nilai-nilai kesyahduan itu.

Bagi para wisatawan yang telah tersentuh rasa nikmat dan damai dari getaran rasa estetik objek-objek itu, selalu ingin menikmatinya terus, hingga membuat rumah, vila, Restoran, serta ecowisata lainnya. Dalam kontek ini rasa estetik yang bergelora di dalam diri seseorang merindukan keindahan semesta yang merupakan sumber dari segala sumber yaitu “Ibunya sendiri” Yang Maha Indah (Sundaram). Realitas ini menempatkan jiwa manusia sadar tidak sadar telah mendekat pada belaian kasih sayang Ibu Semesta.

Baca juga:  Reformasi vs Radikalisme

Sesungguhnya sadar tak sadar kita larut dalam kasih semesta yang tersembunyi. Oleh karena itu betapa besar  kerinduan yang tersembunyi itu menggerakkan hasrat estetik lalu mengumpulkan material hingga bisa pergi ke mana-mana mendekat pada Ibu Semesta nan Sundaram penuh kemurnian yang membahagiakan itu.

Ada beberapa teman penulis berbicara, saat-saat kesibukannya menggerakkan roda bisnisnya, seringkali terjadi kesumukan bahkan ketegangan akibat kompetisi sehat atau juga tidak sehat. Realitas ini menggerakkan hatinya untuk pergi ke Bali, menikmati keindahan alamnya, budayanya serta keramahan penduduknya yang masih terpelihara baik di pedesaan.

Menyaksikan realitas ini setidak-tidaknya ada 3 aspek utama yang memberi energi supra yaitu: (1) Energi Ibu Semesta (Sundharam) yang mendamaikan. (2) Energi Seni Budaya yang dapat menghibur, menenangkan, membangun daya kreatifitas. (4) Energi Humanis, keramahan tamahan sebagai refleksi esensi kesamaan rasa yang memurnikan (tattwam-asi).

Akibat vibrasi energi suci itu, kehadiran mereka itu membawa energi material untuk merawat, memelihara, menyuburkan dan seterusnya agar bisa memberi kenikmatan bagi wisatawan serta orang-orang penyedianya.

Dampak aliran material ini menjadi pergulatan yang dinamis menjadi  persaingan yang seringkali melupakan asupan energi kepada penyedianya, hingga seringkali terjadi kepincangan sosial, bahkan kerusakan lingkunganpun tak terhindarkan.

Baca juga:  Miracle Hadirkan Penawaran Menarik di Akhir Tahun

Rasa estetik dalam ranah ini diawali  bayang-bayang nikmat kesyahduan estetik yang membahagiakan lalu menjadi prilaku ekonomi, menempatkannya pada “kebenaran pengetahuan material” (Karma Kanda) yang menjadi pondasi kehidupan yang tidak bisa dihindari oleh siapaun.

Seni menempatkan hakekat penciptaannya terhadap nilai-nilai esensial kesyahduan estetik, membawanya kedalam bayang-bayang imajinasi, wujud bayang-bayang dan juga  realitas indrawi nan realistik natural. Artinya wujud bayang-bayang imajinasi adalah wujud imajiner yang banyak menempati ruang dan varian wujud estetik, misalnya: wujud seni horor, di Bali ada topeng Celuluk.

Sebelumnya tersaji dalam catatan sejarah, bahwa wujud realistik natural mengawali proses imajiner itu, mulai dari primitif, Klasik lalu berproses dalam perjalan waktu, muncul aliran-aliran Realisme, Naturalisme, Impresionisme, Ekspresionisme, Abstrak dengan berbagai sajiannya dan seterusnya hingga berkembang hingga kini.

Perjalanan sejarah penciptaan seni itu, menempatkan seniman menangkap “bayang-bayang” menjadi wujud “bayang-bayang indrawi”. Kemudian diakui dan dihargai bahkan ditetapkan oleh masyarakat akibat “ketinggian” atau “keunikan bayang-bayangannya”. Karya-karya Cokot mengekspresikan imaji-imaji yang sangat jauh melampaui keunikan lokal saat itu. Dengan demikian tersaji “kebenaran baru”, yang tersaji akibat proses kreatif pengejaran bayang-bayang yang tiada henti. Itu arti kehidupan dalam dunia imaji estetik. Apabila berhenti berarti berhentilah penciptaan seni itu. Berarti pula bahwa; sifat kuasa Dewa Brahma tidak mengalir

Baca juga:  ‘’Paneduh Jagat’’ dan Sikap Masyarakat

Pada posisi inilah proses kreatif penciptaan seni berawal dari proses mencapai “nirguna” lalu mengalir berproses menjadi “Saguna”. Artinya merealisasikan “bayang-bayang abstrak” menjadi “wujud baru” yang  komunikatif

Pertanyaannya apa lantas bayang-bayang itu, inilah yang patut direnungi dan dijawab oleh ilmu lain. Ketika mengejar bayang-bayang itu, adalah proses remanasi, mengejar  sumber bayangan itu sendiri, maka dalam “tahapan tertentu” bayangan itu akan “tertuju dan berhenti pada tempat-Nya sendiri”. Hingga tidak ada lagi apa-apa atau imaji-imaji dan lain sebagainya, yang terjadi adalah “kebahagiaan yang tiada tara” bagi penemunya sendiri. Barangkali disinilah alam Nirguna yang menjadi tujuan bagi setiap insan di dunia ini. Ketika sudah demikian penciptaan seni telah menjadi “kebenaran” yaitu “kebenaran Spiritual” yang disebut “karma Jnana” atau “jalan para widya”

Dengan demikian gelora rasa estetik menjiwai penciptaan seni mengantarkan kerinduan dalam penyatuan pada sumbernya, walaupun dalam sekejap, merasakan kebenaran yang membahagiakan yang tiada tara. Kebenaran rasa estetik yang telah mencapai sundharam inilah esensi bayang-bayang menjadi kebenaran yang membahagiakan. Dengan demikian rasa estetik telah merantau meresapi jiwa  insan-insan yang melakoni, lalu membawanya pada kebahagian dan kedamaian.

Penulis, Pensiunan Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *