Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Made Ratminingsih

Kata kebenaran dan pembenaran berasal dari kata benar. Benar adalah kata sifat yang artinya betul, sesuai dengan apa yang seharusnya. Benar juga mengindikasikan kondisi yang dapat dipercaya, karena bila apa yang disampaikan tidak benar, orang lain atau masyarakat tidak akan percaya.

Kebenaran merupakan kata turunan dari kata benar, yang bermakna suatu hal atau fakta yang mengandung kondisi benar atau yang sesungguhnya atau semestinya. Sementara, pembenaran juga sebuah kata turunan yang mengacu pada suatu proses menjadikan sesuatu itu benar atau sebuah proses atau cara membenarkan.

Sebagai contoh sebuah pengetahuan baru dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan bila ilmu tersebut didapatkan dan dibuktikan dengan cara-cara yang benar melalui metode penelitian yang berpendekatan saintifik. Proses mencari kebenaran terjadi dalam kurun waktu yang lama melalui penggunaan instrumen penelitian yang relevan dan sudah teruji validitas dan reliabilitasnya.

Bila, persyaratan ini sudah dipenuhi, peneliti kemudian mengumpulkan data yang dilanjutkan dengan menganalisisnya melalui pisau bedah yang tepat. Setelah proses analisi selesai, akhirnya peneliti dapat mengambil kesimpulan atau mengeneralisasi ilmu tersebut sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran.

Baca juga:  Seni dan Kebenaran

Di sisi lain, pembenaran mengindikasikan suatu proses membuat sesuatu menjadi benar atau membenarkan. Dalam proses membuat pembenaran, mestinya segala sesuatu didukung oleh fakta-fakta atau data-data secara objektif dengan bukti-bukti autentik, sehingga hal tersebut menjadi benar adanya.

Namun dalam prakteknya, sering terjadi, proses pembenaran tidak dilakukan dengan cara-cara yang objektif alias subjektif, atau bahkan mungkin ada yang disembunyikan, maka pembenaran bermakna mencari-cari alasan atau justifikasi agar sesuatu sikap, tindakan, atau keputusan seseorang terlihat benar. Bahkan sering terjadi ketika pencarian kebenaran tersebut sulit didapatkan, maka orang sering ‘menghalalkan’ segala cara untuk mencari-cari pembenaran.

Contoh sederhananya, seorang mahasiswa misalnya terlambat masuk kelas karena terlambat bangun. Agar diijinkan dosennya masuk kelas, mahasiswa menjelaskan ketelatannya karena mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan sebelum kuliah.

Dengan alasan tersebut, mahasiswa berusaha mencari pembenaran bahwa tindakannya telat tersebut  bisa dipahami dosen karena ada kebaikan di dalamnya, padahal sesungguhnya tindakan telat masuk kelas adalah tindakan yang salah karena menunjukkan pelanggaran aturan yaitu ketidakdisiplinan. Jadi pembenaran yang dilakukan mahasiswa sesungguhnya adalah sebuah tindakan yang tidak benar, yang dikemas mengandung kebaikan, yakni mengerjakan tugas yang dibebankan.

Baca juga:  Masa Kehidupan Baru: Rasionalisasi atau Tendensi

Di sisi lain, seseorang yang memiliki otoritas dalam setiap keputusan, sikap, dan tindakannya harusnya selalu berdasarkan aturan atau hukum yang berlaku.  Bila dalam bertindak atau dalam membuat suatu keputusan tersebut sudah sesuai dan berlandaskan aturan yang ada, niscaya tindakan atau keputusan yang diambil sudah benar. Namun, bila si pemegang otoritas tersebut mempunyai itikad yang kurang baik, yang sering disebabkan oleh keinginan-keinginan sesaat, dan tidak berdasarkan kepentingan umum, tetapi lebih kepada kepentingan pribadi atau kelompok, maka pembenaran yang dilakukan bersifat subjektif, yakni hanya menguntungkan pribadi atau kelompoknya sendiri.

Pembenaran berhubungan dengan etika. Etika merujuk pada tindakan baik-buruk Sesuatu tindakan yang dianggap benar oleh suatu kelompok, akan dimaknai baik oleh kelompok tersebut, namun bagi kelompok lain tindakan tersebut dianggap buruk, karena merugikan kelompoknya. Isu-isu publik belakangan ini penuh dengan potensi pembenaran. Misalnya dari simbol-simbol yang digunakan, seorang jelas sudah secara gamblang menampilkan dirinya dengan simbol kelompok tertentu bahkan  secara transparan bertindak untuk menguntungkan kelompok itu pula, namun mengklaim dirinya seolah tindakannya sudah benar, karena dikemas dengan kebaikan. Dalam konteks ini, sebuah kenetralan dalam bersikap dan bertindak hanya sebagai narasi saja, karena yang bersangkutan sudah berlaku tidak adil terhadap kelompok lain (minus etika).

Baca juga:  Rumah Arsitektur Bali Tangguh terhadap Pandemi

Pembenaran yang tidak sesuai dengan kenyataan apalagi mengindikasikan kecurangan dan merugikan pihak lain merupakan sebuah tindakan yang tidak beretika. Sebagai pemegang otoritas, sudah seyogyanya menjadi panutan sehingga wajib menunjukkan integritas yakni selalu mengusahakan agar sikap, tindakan, dan keputusannya menyuratkan kebenaran sekaligus menyiratkan kebaikan. Pada hakikatnya, menjadi benar adalah sesuatu yang baik, karena ada objektivitas yang dipercaya (trustworthy) dan menjadi baik adalah sesuatu yang benar, karena ada nilai-nilai adab yang dimuliakan (dignity).

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *