Petani sedang memanen buah naga yang dikembangkan menggunakan sistem smart farming. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Semakin sempitnya lahan pertanian, berkurangnya SDM di bidang pertanian, serta produktivitas pertanian yang menurun merupakan beberapa kendala yang dialami pertanian di Bali. Salah satu inovasi dan solusi yang ditawarkan adalah penerapan Smart Farming. Dengan penggunaan smart farming dapat mengefisienkan usaha tani dan juga lebih ramah lingkungan.

Ketua Kelompok PMK Mimba Farm I Wayan Mudita belum lama ini mengatakan, penggunaan Smart Farming (IoT) ini terdapat penghematan air sebesar 20 persen, peningkatan kapasitas produksi sebesar 10 – 15 persen serta efisiensi di sisi tenaga kerja hingga 20 persen.

“IoT ini dimanfaatkan untuk memudahkan kami sebagai petani hidroponik untuk penyiraman, pemupukan, mengatur suhu dan kelembapan bahkan dari jarak jauh,” ungkap Mudita.

Mudita juga menjelaskan bahwa dirinya memiliki manajemen tanam, sehingga dalam seminggu, misalnya, ingin 4 kali panen, maka akan dibuatkan rencana mulai menanam dan memanen sehingga rekanan dapat menentukan berapa kali mengambil sayur dalam seminggu.

Baca juga:  2021, Pembangunan PLTSa Suwung Ditarget Rampung

“Jadi semuanya sudah terjadwal sehingga sayur – sayur premium kita sudah laku semua, dengan perkiraan omzet per bulan sebesar Rp 50 – 60 juta,” pungkasnya

Petani lain yang juga menggunakan smart farming, Wayan Selamet Papadan, Senin (5/2) mengatakan, penggunaan smart farming dengan bantuan teknologi, diakui lebih efisien dan tidak terlalu banyak menghabiskan waktu serta tenaga. Seperti untuk penyiraman yang bisa dikendalikan dari smartphone.

Tidak hanya untuk penyiraman (irigasi), pemupukan dan pengendalian hama penyakit juga menggunakan teknologi yaitu drone. “Penyemprotan dengan teknologi drone itu lebih memudahkan dan efisien waktu, tenaga, keamanan sebagai petani juga terjaga,” ujarnya.

Baca juga:  Puluhan Warga di Desa Kutuh Belum Nikmati Listrik

Dari hasil analisanya, penggunaan teknologi sangat efisien dibandingkan bertani secara konvensional baik dari sisi biaya, waktu dan tenaga, dapat menghemat sekitar 70 persen. Namun diakui di awal investasi yang dikeluarkan lebih besar.

Dari sisi tenaga, untuk mengolah lahan seluas 1 ha, hanya membutuhkan 1 tenaga kerja. Sedangkan jika bertani konvensional, tenaga kerja yang dibutuhkan 5 orang.

Manager Komunikasi PLN UID Bali, I Made Arya menjelaskan, PLN mendukung pertanian di Bali lewat program Electrifying Agriculture. “Kami mendukung penuh pengembangan inovasi di bidang pertanian salah satunya adalah Internet of Things untuk memudahkan para petani,” jelasnya.

Ia menyampaikan PLN membantu pengembangan pertanian dengan pembuatan green house hidroponik dilengkapi smart farming sebesar Rp30 juta. Bantuan ini telah dimanfaatkan untuk mengembangkan penggunaan teknologi Internet of Things yang sudah diaplikasikan oleh kelompok Petani Mimba Farm Pelaga Petang.

Baca juga:  Oka Sulaksana dan Candra Pertiwi Turun di Pra Olimpiade

“Bantuan yang diserahkan berupa alat pengembangan IoT dan instalasi pemipaan untuk pertanian seperti sprinkle, pompa air, tandon air, alat pengukur kelembapan suh tanah, dan alat-alat pendukung lainnya,” terang Arya.

Pihaknya berharap kontribusi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas hasil tani sehingga perekonomian makin membaik. Kontribusi PLN terhadap sektor pertanian di Bali terlihat dari data anggaran PLN tahun 2022 yang mana 8% program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) menyasar ke kelompok tani, sedangkan tahun 2023, 7% program TJSL menyasar ke kelompok tani. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN