I Ketut Murdana. (BP/Istimewa)

Oleh I Ketut Murdana

Realitas dalam hal ini berorientasi pada alam semesta yang terindrawi maupun yang tak terindrawi. Kategori tersebut sudah amat familier bagi kita semua. Walaupun demikian masih banyak yang tersembunyi, membuka kontemplasi memasukinya. Telah berabad-abad para suci, para filsuf, para ilmuwan, para teknolog, para penyair, para pemusik, para pelukis serta para seniman lainnya.

Rangkaian artefak yang telah hadir menjadi pondasi inspirasi keilmuan, penciptaan seni, tata susila berorientasi pada alam (cosmosentris). Itu artinya ciptaan artefak bersumber dari penciptaan yang pertama, yakni alam semesta (Prakerti). Ketika kita melihat sabda Tuhan dalam kitab suci Bhagavadgita IX.4 menyatakan:
“Alam semesta ini diliputi oleh-Ku dengan wujud-Ku yang tak nyata, semua makhluk ada pada-Ku, tetapi Aku tidak ada pada mereka”.

Itu artinya sifat Tuhan Yang Maha menampung segalanya, karena demikian besar dan halusnya, sulit dirasakan oleh setiap makhluk ciptaan-Nya. Sulit bukan berarti tidak bisa. Di balik kerahasiaan Yang Maha itu, Tuhan juga menurunkan pengetahuan untuk menembus kerahasiaan itu, sesuai tingkatan kemampuan
manusia dari jaman ke jaman. Seni dihadirkan oleh sifat kuasa-Nya, agar sadar memahami nilai-nilai itu, lalu menjadi prilaku yang tulus ikhlas.

Baca juga:  Ekonomi Biru, Solusi Perkuat Ketahanan Pangan

Di balik kata tulus ikhlas terbentang nilai edukasi spirit dan estetik memerlukan perjuangan yang tidak ringan dalam ruang dan waktu yang “terbatas” misalnya rata-rata umur manusia saat ini 90 tahun. Bila saat hidup tidak melakukan upaya berkarma baik nan tulus ikhlas, tentu pengulangan kelahiran akan terjadi (punarbhawa-hukum karma-phala). Dalam paparan nilai-nilai dan konteksnya, seni sejak jaman dahulu, telah menyingkap realitas-realitas tersebut, “yang indrawi diindrawikan dan yang non indrawi diindrawikan”.

Pada akhirnya kedua realitas itu mengindrawi menjadi wujud-wujud kreatif baru yang membumi, mengedukasi manusia membangun kesadaran estetik memperindah nilai-nilai. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran estetis, bahwa di balik ciptaan alamiah ada ciptaan seni menjadi realitas baru. Kesadaran penciptaan ini berawal dari kebutuhan jasmani yang berhubungan dengan misteri alam semesta yang amat rahasia.

Baca juga:  PKB 2019, Bangli Siapkan Seribu Lebih Seniman

Pada kehidupan berburu nenek moyang kita melukiskan gambar babi hutan yang kena panah di jantungnya. Secara indrawi lukisan itu adalah wujud babi hutan yang dilukiskan dengan kemampuan kreatif maksimal saat itu, yang sekarang disebut
primitif. Namun dibalik itu penggambaran binatang itu, bukan semata-mata penggambaran nilai-nilai estetik. Tetapi melalui lukisan itu tersingkap “doa” yang
berhubungan dengan Sang Pencipta penguasa semua makhluk. Agar diberkati untuk dijadikan kebutuhan makanan. Itu artinya ada kesadaran kepada Sang Pencipta dan juga etika yang wajib dilakukan.

Pertanyaan bisa muncul, mengapa nenek moyang kita bisa melakukan itu?, pasti ada sesuatu yang “mengingatkan” dan “menuntunnya.” Seni dalam kontek itu dapat mempresentasikan harapan hidup dalam kehidupan, lalu mewadahi harapan-harapan itu menjadi kesadaran berprilaku suci (kesadaran spiritual).

Baca juga:  Gubernur Koster Dukung Kreativitas Pemuda Lestarikan Seni Layang - Layang

Jadi seni tidak berdiri sendiri tetapi bersatu padu memperjuangkan kehidupan material duniawi, lalu mengangkat derajat kearifan manusia memuliakan alam sebagai wujud Kasih-Nya memelihara semua ciptaan-Nya (spiritual). Kesadaran nenek moyang itu, sadar tidak sadar telah meluhurkan dirinya dihadapan Sang Pencipta.

Walaupun teorinya tidak banyak, tetapi melakukan tindakan kebenaran. Seni dalam kontek kekinian realitas wujudnya amat semarak dan pemaknaan yang beragam. Menjadikan kekuatan identitas yang lebih mempribadi, dengan berbagai basis
perhelatannya.

Akankah semua itu berbasis esensial kemurnian pendakian penyempurnaan hidup
dalam kehidupan? tentu jawaban itu berpulang kepada subyek atau komunitas masing-masing. Kondisi singkapan seni terhadap realitas, sesungguhnya beroientasi atau “bermuka ragam”, namun tersatu-padukan dalam wujud seni yang indah. Memaknai realitas ini seni menjadi wahana nilai-nilai kehidupan yang dapat menyadarkan terhadap realitas indrawi maupun non-indrawi.

Edukasi makna inilah sesungguhnya tersaji estetik dalam seni, yang patut dipahami bersama seniman.

Penulis, Pensiunan Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN