Sejumlah warga negara asing mengantre di layanan visa saat kedatangan (VOA) di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Sabtu (8/4/2023). (BP/Dokumen Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penggunaan pungutan USD 10 bagi wisatawan mancanegara (wisman) diharapkan diprioritaskan untuk hal mendesak yang mengganggu pariwisata Bali yaitu, sampah, kemacetan dan degradasi budaya.

Akademisi Ekonomi dari Universitas Udayana, Prof. Wayan Ramantha, Rabu (17/1) mengatakan, sampah dan kemacetan adalah objek yang mengganggu pariwisata Bali yang nampak dengan mata. Sedangkan degradasi budaya adalah hal yang mengganggu namun tidak kelihatan kasat mata. “Budaya ini tidak terasa terdegradasi, tidak nampak seperti kemacetan yang terlihat langsung atau sampah terbakar,” jelasnya.

Degradasi budaya Bali yang terjadi terlihat dari berbagai perubahan karakter dan sikap orang Bali. Misalnya jika dibandingkan 5-10 tahun lalu, sikap keramahtamahan orang Bali berbeda antara dulu dan sekarang.

“Adanya penjambretan, pengeroyokan walaupun bukan dilakukan orang Bali atau dilakukan orang Bali, tapi wisatawan tetap saja merasa Bali tidak aman dan berbeda dengan dulu. Budaya keramahtamahan sudah tidak ada. Misalnya lagi, jika ada orang asing jatuh saat berkendara yang dulunya ditolong dan diajak ke rumah, sekarang hanya ditonton bahkan dicueki. Jadi, kalau begitu apa bedanya Bali dengan yang lain,” jelasnya.

Dalam pengelolaan pungutan tersebut, menurutnya harus dikembalikan untuk merawat pariwisata Bali atau reinvestasi. Pungutan yang masuk dalam bentuk APBD dan pengeluarannya pun betul-betul digunakan untuk merawat budaya, karena pariwisata Bali adalah pariwisata budaya.

Baca juga:  Di Lombok, Menpar Berbagi Semangat Digitalisasi Komunikasi Publik

Selain itu digunakan untuk pengelolaan sampah dan kemacetan. Misalnya, perlu underpass yang lebih banyak. “Jadi 100% harus dikermbalikan untuk perawatan budaya dan reinvestasi pada sektor–sektor penunjang pariwisata,” imbuhnya.

Penggunaan pungutan ini juga tidak boleh tumpeng-tindih dengan APBD kabupaten/kota, yang mana kabupaten/kota pendapatan utamanya dari Pajak Hotel dan Restoran (PHR) sebesar 10%. “Jadi tidak boleh tumpang-tindih tapi saling melengkapi, jadi harus ada koordinasi antara kabupaten/kota dan provinsi dalam menata infrastruktur, suprastruktur berkaitan dengan pariwisata, dan yang utama perawatan budaya Bali,” tandasnya.

Selama ini dalam pemerataan pajak PHR, telah dilakukan subsidi silang antarkabupaten-kota, baik dari Kabupaten Badung dan Denpasar disumbangkan ke daerah lain seperti Tabanan dan Bangli. Provinsi dengan pungutan USD 10 per orang ini, penggunaannya harus bijak. “Kalau misalnya penting, sebagai daerah penyangga, contoh Tabanan sebagai lumbung beras dan pangan, Bangli sebagai sumber air dan perawatan hutan untuk kelestarian lingkungan. Kalau sumbangan PHR yang diberikan Badung dan Denpasar sedikit, maka dapat diberikan oleh provinsi dari pungutan USD 10 itu,” jelasnya.

Baca juga:  Dukung Pungutan 10 Dolar

Menurut Rahmantha dengan demikian terjadi pemerataan dan daerah lain tidak berlomba–lomba membangun pariwisata tapi tetap menjaga sumber daya alam yang dimiliki untuk kemakmuran Pulau Bali. “Supaya mereka tidak berlomba–lomba membangun pariwisata seperti membuat akomodasi sehingga sawah terasering habis, sehingga bukan pariwisata budaya lagi dan orang akan berkurang kesini,” ujarnya.

Dengan cross subsidi PHR ditambah dana strategis dari pungutan USD 10 yang diatur oleh provinsi diharapkan dikembalikan lagi dalam bentuk perawatan pada sarana penunjang pariwisata. “Tidak elok pungutan itu digunakan untuk tujuan lain selain penunjang pariwisata apalagi insentif pegawai, bantuan untuk parpol, sangat tidak elok. Wisatawan itu bisa protes dan tidak mau datang lagi. Penggunaannya harus transparan dan bila perlu dipublikasikan terkait penggunaan dari USD 10,” imbuhnya.

Akademisi dari Undiknas Prof. IB Raka Suardana mengatakan, setelah pembayaran masuk ke bank persepsi, lalu diharapkan dikelola lembaga khusus. Tujuannya agar tepat sasaran dan dana tersebut tidak digunakan untuk hal-hal lain.

Pungutan USD 10 dikelola lembaga khusus namun bukan BUMD karena tujuannya untuk perawatan budaya adat Bali, pengelolaan sampah. “Asal jangan masuk APBD tapi untuk merawat tempat-tempat wisata, kesenian, kebudayaan, pengelolaan sampah,” bebernya.

Baca juga:  Simulasi Penanganan Kerusuhan Digelar di Mako Brimob

Didukung Karangasem

Pemda karangasem mendukung pungutan terhadap wisatawan yang berkunjung ke Bali untuk pembangunan infrastruktur pariwisata, penguatan budaya, serta mengatasi kemacetan di Pulau Dewata ini.

Bupati Karangasem, I Gede Dana, sangat setuju dengan usulan pungutan wisatawan tersebut nantinya diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur pariwisata di Bali. Termasuk dialokasikan untuk tetap menjaga budaya Bali, serta untuk mengatasi kemacetan, mengingat saat ini Bali sudah sangat krodit.

“Usulan ini sangat positif dan bagus. Karena dengan penguatan infrastruktur pariwisata nantinya akan berdampak terhadap kunjungan wisatawan. Di samping itu juga, nantinya bisa untuk penguatan ekonomi kerakyatan,” ucapnya.

Selain mendukung untuk pembangunan infrastruktur pariwisata, pihaknya juga mendukung terkait untuk perlindungan budaya Bali, serta untuk mengatasi kemacetan karena saat ini Bali, khususnya di Badung dan Denpasar sudah sangat krodit sekali. “Ini juga kita dukung, terlebih saya dengar di Badung akan dibangun jalan untuk mengatasi kekroditan di wilayah tersebut,” jelasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN