Kominfo menggelar seminar terkait UU ITE yang berlangsung di Kota Denpasar, Bali, pada Kamis (2/11). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kemerdekaan berekspresi di Indonesia dijamin di dalam UUD 1945 Amandemen ke-2, yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2). Lebih lanjut praktiknya diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Seiring perkembangan zaman, masyarakat memiliki banyak pilihan media untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran, salah satunya melalui internet dan media sosial.

Untuk menjaga ruang publik agar kondusif, ramah, dan produktif dengan mendukung penggunaan internet dan kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab di seluruh lapisan masyarakat, pada tahun 2008, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang kemudian mengalami revisi di tahun 2016. Sejatinya UU ITE bertujuan untuk memastikan transaksi elektronik atau e-commerce berjalan dengan baik serta hak-hak konsumen terlindungi.

Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemkominfo) melalui Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP) berupaya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang jaminan kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara dan regulasi yang melindunginya.

“Kemkominfo mengajak masyarakat untuk cermat dan bijak dalam berpendapat dan berekspresi, terutama di ruang digital. Mari kita bersama-sama mulai menggunakan internet dan hak berekspresi secara bertanggung jawab,” papar Astrid Ramadiah Wijaya, Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM, Kemkominfo.

Baca juga:  Gali Potensi Wirausaha Muda, "Youth Sociopreneur Initiative" Digelar

Ia juga berharap diskusi dalam seminar yang berlangsung di Kota Denpasar, Bali, pada Kamis (2/11) tersebut bisa dimanfaatkan masyarakat terutama kaum muda untuk lebih bijak menggunakan ruang digital sebagai media berekspresi dan mengemukakan pendapat. Sebagai negara ke-4 dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia, Indonesia tentu merasakan juga derasnya arus informasi yang terjadi. Mengutip data We Are Social pada 2023, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 212 juta orang atau 77 persen dari total populasi.

Sama halnya seperti Indonesia, negara-negara anggota ASEAN lainnya juga menghadapi tantangan dalam hal menjaga kebebasan berekspresi. ASEAN sudah mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Manusia pada 18 November 2012. Pasal 23 deklarasi tersebut menjelaskan bahwa “Setiap orang mempunyai hak untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi, baik secara lisan, tulisan, atau melalui cara lain yang dipilih oleh orang tersebut”.

Diskusi menghadirkan dua narasumber yakni Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga, Prof. Dr. Henri Subiakto, dan influencer, Sophie Navita Barata. Acara dihadiri puluhan anak muda dari kalangan mahasiswa yang berada di Kota Denpasar.

Baca juga:  Era Digital, Generasi Muda Perlu Terapkan Etika Bahasa yang Benar

Untuk lebih mengenal UU ITE, Henri Subiakto mengemukakan bahwa berpendapat, berekspresi boleh diatur oleh negara, karena bisa mengganggu dan merugikan orang lain. Henri yang pernah menjadi Staf Ahli Kemenkominfo dari tahun 2007 hingga 2022 menyebut jika fitnah dilarang dan bisa mendapatkan hukuman. “Menfitnah, misalnya, menuduh sseseorang sebagai anak haram. Pernyataan itu akan mempengaruhi hajat hidup seseorang, itu bukan bagian kebebasan berekspresi, karena setiap manusia berhak hidup secara normal,” tambah Henri.

Menurutnya semua aturan dalam UU ITE tersebut juga dimiliki negara lain, tidak hanya di Indonesia, dan kebebasan berpendapat bukan hak asasi yang absolut. Jadi hak asasi warga negara tidak menghilangkan kewenangan negara yang mengaturnya. “Pasal-pasal pidana dalam UU ITE diambil dari Budapest Convention on Cybercrime,” ujar Henri.

Budapest Convention on Cybercrime adalah perjanjian internasional yang mengatur pelindungan bagi masyarakat terhadap kejahatan dunia maya dengan tingkat kejahatan biasa. Penyelenggaraan konvensi ini diadakan pada tahun 2001 dan kewenangan atas penetapan isi perjanjiannya diberikan kepada Majelis Eropa.

Baca juga:  Bangunan Bersejarah Jangan Dibongkar

Intinya, menurut Henri masyarakat harus bisa membedakan antara mana tuduhan atau fitnah dan kritik serta opini. “Opini itu menilai, mengevaluasi, setuju-tidak setuju, tapi kalau menuduh itu menunjuk pada perbuatan yang tidak dilakukan, hati-hati kita tidak boleh terjebak menyebarkan informasi yang belum jelas,” papar Henri. “Dalam UU ITE, masyarakat harus aware terhadap pasal-pasal yang menyangkut pencemaraan nama baik dan ujaran kebencian”.

Selanjutnya, Sophie Navita mengajak untuk sebelum menyampaikan pendapat di ruang digital sebaiknya kalimat yang digunakan dapat teratur seperti sebuah public speaking terlatih. “Sehingga keinginan kita tersampaikan dengan jelas, tidak muter-muter, dan cek secara runut semua informasi,” kata Sophie.

Menurutnya masyarakat terutama anak muda harus bisa membawa diri di ruang digital. “Harus bisa menahan diri, menulis atau mengungkapkan ekspresi yang berguna saja,” kata Sophie.

Saat diskusi, ia juga mengajak generasi milenial memperhatikan kata-kata Hate Speech is Not Free Speech. “Mari kita lebih memahami UU ITE,” tambah Sophie.

Istri musisi Pongky Barata itu mengatakan jika semua orang adalah influencer, yang bisa mempengaruhi orang dengan hal-hal baik melalui ruang digital pada akun media sosial masing-masing. (Adv/balipost)

BAGIKAN