Prof. Antara berada di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (31/10) saat menjalani sidang eksepsi. (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Rektor Universitas Udayana (Unud) non-aktif, Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara M.Eng., dalam eksepsinya, Selasa (31/10), buka-bukaan soal dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) mahasiswa baru Unud. Ia membeberkan soal penentuan pungutan SPI dibuat Wakil Rektor II Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, S.E., M.S., yang merupakan WR Bidang Umum dan Keuangan.

Sementara itu, dirinya tidak ikut menyusun. “Saya tidak ikut menyusun SPI, ” tegasnya.

Yang menarik, Prof. Antara juga menyentil penjabat lembaga hukum yang menekan pihaknya untuk menerima seseorang di Unud.  Oknum calon mahasiswa yang akhinya dibantu untuk diluluskan itu tak mau membayar dana SPI. “Setelah lolos diterima sebagai mahasiswa, masih ngeyel lagi dengan meminta agar uang SPI digratiskan atau tidak perlu membayar uang SPI. Bahkan oknum mahasiswa tersebut dengan sombongnya berteriak-teriak seolah sudah ada pesan dari aparat hukum senior kenapa masih harus membayar SPI. Inilah salah satu unsur penyebab sakit hati terhadap saya,” jelas Prof. Antara.

Baca juga:  Gempa Telan Korban Jiwa dan Luka di 2 Kabupaten, Sejumlah Bangunan Rusak

Selain itu, beberapa oknum eksternal Unud juga dituding memanfaatkan oknum internal Unud untuk menjegal, menghentikan dan menggantikan terdakwa sebagai rektor. “Sekarang jabatan saya di Plt-kan. Rektor akan dipilih 2024, maju dari semestinya. Jika dilakukan di 2025, beberapa oknum yg ingin jadi rektor tidak memenuhi syarat dari segi umur.
Ini skenario. Rektor dihentikan sebelum masa jabatannya. Bahkan skenario pemilihan nanti rektor saat ini sedang berlangsung di Universitas Udayana,” jelasnya.

Masih dalam eksepsinya, disebut pula bahwa dana SPI dipakai membangun sarana dan prasarana. Sedangkan dalam dakwaan JPU, kata Prof. Antara, uang keluar tidak diuraikan dalam dakwaan atau tidak disebut secara rinci dinikmati oleh terdawa, termasuk apakah juga menguntungkan pihak ketiga. Yang jelas, kata terdakwa, bahwa dana SPI tersimpan rapi di bank.

Baca juga:  Mengabadikan Sanghyang Dedari "Masolah"

SPI juga disebut adalah pendapatan negara, bukan kerugian negara. Dan jika SPI tidak sah, maka itu kerugian masyarakat atau mahasiswa, bukan merugikan keungan negara.

Soal hadiah mobil, itu adalah mobil operasional dari bank dan sudah dilaporkan atas nama Universitas Udayana. Dengan adanya SPI, negara tidak lagi mengeluarkan dana untuk pembangunan universitas dan SPI selalu dilaporkan setiap tahun sebagai PNBP.

Rekapan dicatat dari 2018 hingga 2022. Bahkan sudah diaudit, termasuk oleh BPK, BPK Perwakilan Bali, Satuan Pengawasan Internal, dan juga lembaga lainnya. Dan, lanjut dia, yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara adalah BPK akan tetapi dalam surat dakwaan JPU sama sekali tidak menguraikan audit dari BPK dan tidak menyebutkan adanya audit BPK dari surat dakwaan untuk menentukan adanya kerugian negara, sehingga surat dakwaan, kata Prof. Antara, cacat hukum.

Baca juga:  Selasa, Puncak Karya Padudusan Agung di Pura Goa Lawah

Dengan adanya dana SPI di bank, Unud menerima puluhan mobil dari bank-bank tersebut secara gratis yang merupakan strategi marketing dan CSR (Corporate Social Resposibility) dari bank. Dengan demikian, Universitas Udayana tidak perlu mengadakan belanja modal seluruh mobilnya.

Seluruh mobil operasional mobil operasional yang diterima tersebut sudah terlaporkan sebagai Barang Milik Negara melalui BMN Simak.

Soal Rp274.570.092.691 sebagai penerimaan yang tidak sah sehingga merupakan kerugian Negara, terdakwa mengkau sangat heran melihat itu. Karena uang tersebut seluruhnya tersimpan di tabungan / deposito atas nama Universitas Udayana (milik Negara).

Selain eksepsi pribadi, kuasa hukum terdakwa Hotman Paris, Sukandia, Mega Marantika dkk., juga menyampaikan eksepsi. Atas eksepsi tersebut, JPU akan menjawab dalam sidang berikutnya. (Miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *