AMLAPURA, BALIPOST.com – Karangasem dikenal sebagai penghasil jambu mete terbaik kualitas ekspor. Sentra pengelolaan mete ini terpusat di Desa Ban, Kecamatan Kubu.

Tingginya kualitas mete Kubu, membuatnya mampu meraih sertifikat Indikasi Geografis (IG) sejak Desember 2014, karena komoditas perkebunan itu berkualitas dengan berbagai keunggulan. Meski sudah bersertifikat IG dari pemerintah pusat, faktanya pengakuan itu tak banyak membantu pengembangan mete Kubu.

Sebab, pengelola mete masih jalan sendiri-sendiri. Baik itu dalam memproduksi, pemasaran, hingga permodalan.

Penerimaan sertifikat IG itu dulu diharapkan bisa berdampak positif bagi komuditas unggulan daerah, terutama dari aspek pasar. Dengan adanya sertifikat ini maka bisa mendongkrak popularitas dan citra mata dagangan tersebut di pasar domestik dan ekspor.

Mengantongi sertifikat tersebut, maka masyarakat dunia diharapkan dapat mengapresiasi dengan memberikan harga lebih layak sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Tetapi, semua itu tak dirasakan pengelola jambu mete di Desa Ban. “Dapat sertifikat IG tidak ada pengaruhnya sama sekali. Kebetulan saya juga ikut proses di dalamnya waktu itu. Saya merasakan tidak terlalu efektif,” kata pengelola jambu mete di Desa Ban, Made Sudarma, saat dihubungi, Jumat (27/4).

Baca juga:  Maksimalkan yang Ada, Pemkab Karangasem Tak Rekrut Tenaga Kontrak

Sertifikat IG, kata dia, memang menjelaskan klasifikasi mete Kubu seperti apa, hingga rasanya bagaimana. Tetapi, sangat sulit membedakan mete kubu dengan mete dari daerah lainnya di dalam pasar.

Kecuali pihak yang punya sensitivitas tinggi soal mete. “Sertifikat IG kan lebih menonjolkan rasa, kualitas. Kalau bicara kualitas, kalau masyarakatnya tak dibina dalam melakukan pemetikan, maka tak akan memengaruhi juga dari sisi kualitas,” tegasnya.

Kendala dalam pengelolaan mete saat ini lebih besar pada ketersediaan SDM, pola pikir masyarakat terhadap pohon mete, hingga pemasaran juga masih dalam kendala. Kekurangan timnya dalam dunia bisnis, sistem agar bisa masuk ke toko juga dirasakan masih cukup sulit hingga permodalan.

Kendala terbesarnya yang dialami dalam mengelola mete, adalah memotivasi warga untuk mau menanam pohon mete. Karena, menurutnya warga juga lebih memilih tanaman yang lebih instan menghasilkan uang.

Baca juga:  Denpasar Masih Rawan Transmisi Lokal, Ini Jumlah Penambahan Kasusnya

Kalau mete, butuh beberapa tahun, sampai pohonnya berbuah dan bisa diproduksi. Sehingga, jika sertifikat IG ini tujuannya untuk mempengaruhi pemasaran, sebaran kualitas hingga peningkatan produksi, IG ini sudah tak ada gunanya.

Tidak hanya minimnya perhatian pemerintah pusat, upaya pemerintah daerah untuk membantu pengelola mete keluar dari berbagai persoalan juga dirasakan minim. Potensi mete kerap disebut-sebut sebagai potensi unggulan Karangasem, hingga dibangga-banggakan di setiap pertemuan pemerintahan.

Tetapi, upaya untuk membantu pengelolaan mete, diakui Made Sudarma sangat minim. “Saya sudah tiga kali menghadap bupati. Bahkan, kami pernah undang langsung agar datang ke sini, tapi belum bisa datang. Heran juga kampanyenya tiap hari bahas mete, padahal belum pernah ke sini,” sorot Sudarma.

Padahal, pihaknya ingin sekali dibantu perbaikan akses jalan menuju pabrik sepanjang 1,5 km. Akses jalan dari Desa/Banjar Dinas Ban menuju Banjar Dinas Pejukung. Tiap hari jalan itu tak hanya dilintasi 360 karyawan pabrik, tetapi juga warga setempat lainnya. “Coba bantu kami keluar dari masalah jalan saja dulu, sebelum masuk ke masalah lain,” tegasnya.

Baca juga:  Karena Ini, PSK Asing Ditangkap

Warga asli Desa Ban ini, mengaku sudah enam tahun berkecimpung di dalam pengelolaan potensi mete. Proses produksi 100 persen dikerjakan di tempatnya di Desa Ban, dan hasilnya sudah siap konsumsi.

Dengan usahanya ini, dia bisa mempekerjakan 360 orang, dimana 90 persen pekerjanya adalah perempuan. Beruntung pohon metenya juga cukup melimpah di Desa Ban. Luas areal mete kurang lebih 7,7 ribu hektar dengan hasil buah kurang lebih 3.500 ton seluruh mete di sekitaran pabrik se-Desa Ban dan sekitarnya.

Desa Ban terdiri dari 15 banjar dinas dengan 19 desa adat, dimana sebagian besar wilayahnya ada pohon mete. Jadi, bahan baku sampai sekarang masih relatif aman. Pihaknya sudah bisa memproduksi 1.000 ton per tahun ini. Dengan manajemen pengelolaan yang baik, dia berusaha untuk meningkatkan total produksi, tanpa mengabaikan kualitas hasil produksi. (Bagiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *