Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Acap perempuan distereotipkan dengan sosok yang lemah dan dependent dalam hukum patriarki. Tapi semua teori itu harus dijungkirbalikkan dengan terbitnya figur-figur di luar nalar kerajaan laki-laki.

Pada masa kerajaan kita punya perempuan perkasa nan pintar, seperti Ratu Shima (Kerajaan Kalingga), Ratu Pramodawardhani (Kerajaan Mataram Kuno), Ratu Tribhuwana Tunggadewi dan Ratu Suhita (Kerajaan Majapahit). Kita juga memiliki Bupati Jepara Ratu Kalinyamat, yang dijuluki Portugis sebagai rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame (Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani).

Kemudian kita tak lupa atas kiprah Raden Adjeng (RA) Kartini, pioneer kebangkitan perempuan pribumi, tokoh emansipasi perempuan. Deretan perempuan hebat lainnya ada Laksamana Malahayati, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Dewi Sartika, HR Rasuna Said, Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, Maria Wanda Maramis, Nyi Ageng Serang, dan sebagainya.

Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini keterwakilan perempuan diakomodasi dari lima posisi menteri dipegang oleh perempuan. Mereka itu adalah Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Ida Fauziah (Menteri Ketenagakerjaan), Siti Nurbaya Bakar (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), I Gusti Ayu Bintang Puspayoga (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), dan Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri), bahkan Staf Khusus Presiden Joko Widodo salah satunya perempuan disabilitas, Angkie Yudistia.

Baca juga:  Media Sosial Berperan Ungkap Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

Panggung perempuan dari masa ke masa terus menerbitkan perempuan pemberani atau jagoan. Mereka merekam ragam penyimpangan, ketidakjujuran, ketidakadilan dan ragam kenestapaan lain yang mengarah ke perempuan sebagai korban. Ada soal trafficking, tentang korupsi, gratifikasi, pungli, pelecehan, kekerasan, kemiskinan, korban bencana alam, korban di wilayah konflik di banyak domain maupun pemaksaan dan penipuan dengan angin-angin surga.

Kita mengenal sosok Marsinah, aktivis buruh yang semasa hidupnya dikenal vokal menyuarakan hak-hak kawan-kawannya di PT CPS Sidoarjo Jatim (1993) berakhir dibunuh dengan cara keji. Menyusul, Dita Indah Sari (1996) kerap memperjuangkan hak-hak kaum buruh pada masa Orde Baru.

Ia mengajak para buruh turun ke jalan di Surabaya berujung masuk bui dan tahun 2011, Dia resmi ditunjuk Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar sebagai staf khusus menteri hingga sekarang. Kemudian kita mengenal Prita Mulyasari yang menulis dan mengirimkan email pribadi kepada teman terdekat terkait keluhan pelayanan RS Omni internasional. Email ini kemudian beredar luas di dunia maya (2008), lewat PK berhasil bebas dari jerat UU-ITE (2013).

Baca juga:  Tantangan Perempuan Era Digital

Tak asing rasanya pada perempuan Baik Nuril (2017), seorang pegawai honorer di salah satu SMAN di Mataram-NTB, dianggap telah merekam dan menyebarkan percakapan mesum Kepala Sekolah tempat Nuril bekerja, yang akhirnya bebas oleh Amnesti Pak Presiden Joko Widodo.

Jagoan lainnya, Nurhayati, perempuan berprofesi sebagai Kaur Keuangan desa Citemu di Cirebon yang melaporkan Kadesnya korupsi malah dijadikan tersangka (2021), namun endingnya Nurhayati bebas. Adalah Anindha Gauri Naraswari, penyandang disabilitas low vision, yang membacakan surat cinta berisi pesan anti kekerasan seksual, di hadapan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Belum lama, diduga oknum atasan 4 perusahaan di Cikarang mengajak staycation karyawati demi kontrak kerja (tvonenews.com, 9/5/2023).

Ada perempuan AD (24) yang melawan dan akhirnya ia berani melaporkan kasusnya ke Mapolres Metro Bekasi. Marsinah, Dita, Prita, Nurhayati, Naras dan AD representasi garda depan, role model yang menunjukkan keberaniannya untuk terus speak-up, yang dipercaya menyelamatkan masa depan perempuan.

Subordinat

Segalanya berangkat dari hal sederhana, yakni berani angkat bicara yang sekurangnya akan memberikan keadilan terhadap korban dan efek jera untuk kejahatan/kekerasan. Speak up perempuan bisa saja melalui laporan langsung (lisan dan tulisan) ke pihak berwajib, mengungkapkan lewat media sosial (Twiter, Youtube, Instagram, WA, Tiktok, Telegram, dll).

Baca juga:  Membangun Sistem Pendidikan Antikorupsi

Sekali lagi, berani speak up bagi perempuan menjadi penting, sebagai effort melawan stereotip miring tentang perempuan.   Berbicara tentang perempuan, tidak sedikit hasil kajian yang menyebutkan bahwa perempuan tergolong kelompok rentan yang sering mengalami berbagai masalah atas perilaku kelam kaum laki-laki bahkan kaumnya sendiri. Sampai hari ini pun perempuan masih distigma sebagai kelompok kelas kedua (subordinat) sehingga mereka tidak memperoleh persamaan hak dengan laki-laki. Perempuan dinilai hanya becus dalam pekerjaan domestik.

Padahal perempuan bisa menjadi aktor strategis di dalam pembangunan. Tidak hanya pembangunan di grassroots, tetapi juga pembangunan secara nasional yang dapat mengubah kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera. Perempuan hebat Negara kuat. Seiring berjalannya waktu, perempuan mulai berani speak up, bangkit dan berhasil membuktikan bahwasanya keberadaan mereka layak untuk diperhitungkan. Mari kita akhiri kemurungan yang membalut perempuan dan membawanya iklim budaya yang ramah dan aman bagi perempuan, termasuk perempuan anak-anak dan disabilitas.

Penulis, Kepala UPPD Kabupaten Tegal, Jawa Tengah

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *