Suasana Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Menata Wisata Gunung Berbasis Kearifan Lokal Bali” di Warung Bali Coffee 63 A Denpasar, Rabu (7/6). (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Demi menjaga kesucian kawasan gunung, Gubernur Bali, Wayan Koster akan melarang wisatawan menjadikan gunung sebagai objek wisata. Pasalnya, Gubernur Koster akan menjadikan gunung sebagai kawasan yang disucikan. Bahkan, peraturan daerah (Perda) terkait pelarangan pendakian gunung akan dirancang untuk menata kembali wisata gunung berbasis kearifan lokal Bali. Apalagi, Gubernur Bali telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Nomor 04 Tahun 2023 tentang Tatanan Baru Bagi Wisatawan Mancanegara Selama Berada di Bali.

Komponen masyarakat Bali seperti PHDI Bali, DPD HPI Bali dan pengamat agama Hindu mendukung penuh upaya Gubernur Wayan Koster. Sebab, Bali perlu sipeng alias nyepi melakukan wisata mendaki gunung guna menghindari Bali rusak lebih parah lagi secara sekala dan niskala. Bahkan momentum ini dipakai menata pariwisata Bali, termasuk hal lain seperti mengevaluasi pendirian vila dan hotel di gunung, menata guide berlisensi hingga menurunnya debit air di semua sumber air suci di Bali. Kata kuncinya, upaya ini harus didukung bupati di daerah dan masyarakat luas.

Ketua DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali, I Nyoman Nuarta, S.H., dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Menata Wisata Gunung Berbasis Kearifan Lokal Bali” di Warung Bali Coffee 63 A Denpasar, Rabu (7/6), mengatakan sejak Gubernur Koster mengeluarkan kebijakan tatanan baru bagi wisatawan mancanegara (wisman) selama berada di Bali (SE Gubernur Nomor 04 Tahun 2023) dan melarang pendakian gunung, pihaknya sangat mendukung kebijakan Gubernur Koster tersebut. Alasannya, kebijakan ini merupakan momentum bagi masyarakat Bali. Sebab, Bali kalau tidak ditata dari hulu-hilir dalam konteks kesuciannya, maka kesucian Bali akan ternodai. Apalagi, gunung merupakan kawasan yang disucikan.

Baca juga:  Sehari Jelang Lebaran, Semeru Luncurkan Awan Panas

Diakui, sejak dikeluarkannya SE Gubernur Nomor 04 Tahun 2023 muncul riak-riak di masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang sudah menekuni pekerjaan sebagai pemandu pendaki gunung. Sehingga, ini mesti dicarikan jalan keluar. Sehingga, ketika kebijakan ini diberlakukan maka mereka yang kehilangan pekerjaan bisa mendapatkan pekerjaan baru dan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bahkan dia menyebut Pura dan gunung tak masuk dalam katagori Daerah Tujuan Wisata (DTW), namun terlanjur dibiarkan. Makanya peran bupati/wali kota mesti ada agar jangan terkesan Rp ada di kabupaten sedangkan PR ada di Pemprov Bali. ”Khan kasihan Pak Gubernur ya. Di sinilah perlunya one island one management,”tegasnya.

Pengamat agama Hindu dari Unhi Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag., M.Pd.H., juga mengapresiasi kebijakan Gubernur Koster ini, karena secara umum kebijakan ini sangat baik untuk menjaga aura dan taksu Bali. Apalagi, gunung bagi umat Hindu di Bali merupakan kawasan yang disucikan.

Diungkapkan, dalam teks Siwa Purana, begitu Dewi Gangga akan turun ke dunia, Ketu (mahkota) Dewa Siwa mengangkat dunia agar seimbang. Kemudian, Ketu Dewa Siwa menjadi lingga acala (gunung). Gunung ini yang menangkap dan menjadi pembebasan atas penderitaan umat. Sehingga, gunung menjadi tempat suci yang harus dijaga kesuciannya untuk kesucian kehidupan di Bali.

Baca juga:  Toko dan Kios Non Esensial di Denpasar Mulai Buka

“Dengan adanya ide bahwa menjaga kesucian gunung kembali, bukan hanya gunung yang suci, karena dengan kita memelihara gunung sumber air akan terpelihara, hutan akan terpelihara, lalu kemudian manusia juga terpelihara. Karena dengan air yang baik kita akan bisa mendapatkan kehidupan yang baik pula. Ini pas dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali,” ujar Kadek Satria.

Secara filosofis, Kadek Satria mengatakan bahwa gunung sejak dahulu dikeramatkan karena diyakini sebagai stana dari leluhur. Bahkan, dalam beberapa teks disebutkan gunung-gunung yang terbangun di Bali ini adalah gunung perpindahan dari daerah lain. Sebab, gunung Bali diyakini bisa memberikan kesejahteraan dan menghidupi masyarakat, adat, dan budaya. “Gayung bersambut, kemudian ada ide pemerintah untuk menjaga kesucian gunung ini,” tandasnya.

Dia menambahkan Bali perlu sipeng alias menolkan wisata mendaki gunung. Dengan demikian dari wacana ini akan magaburan atau terangkat masalah lainnya seperti soal izin fasilitas wisata, perusakan hutan, dll.

Sekretaris PHDI Provinsi Bali, Putu Wirata Dwikora mengatakan bahwa dalam SE Gubernur Nomor 04 Tahun 2023 belum ada larangan bagi wisatawan untuk melakukan pendakian gunung. Bahkan, hingga saat ini pendakian gunung oleh wisatawan masih dilakukan. Namun, Gubernur Koster telah melontarkan pernyataan akan melarang wisatawan melakukan pendakian gunung yang akan di atur dalam Perda. Meskipun pernyataan ini masih dalam wacara, namun riak-riak di tengah masyarakat tengah ramai. Meskipun demikian, apabila kebijakan ini ideal diterapkan oleh Gubernur Koster, maka PHDI Provinsi Bali akan mendukung penuh kebijakan tersebut. Sebab, melarang wisatawan untuk melakukan pendakian gunung guna menjaga kesucian kawasan gunung merupakan langkah yang harus dilakukan.

Baca juga:  Didukung, Upaya Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem di Bali

Dalam Bhisama PHDI pada tahun 1994 para sulinggih di PHDI menginginkan agar kawasan gunung juga disucikan. Namun, pada saat itu keputusan para Pandita ini bersifat norma agama, bukan norma hukum. Sehingga, ketika terjadi pelanggaran terhadap bhisama ini, PHDI tidak bisa berbuat banyak. Sehingga, diperjuangkan agar bhisama ini masuk dalam Perda.

Pada Perda RTRW tahun 2009, bhisama ini masuk dalam Perda. Sehingga, ketika terjadi pelanggaran bisa ditindak. “Tidak ada yang salah dengan kebijakan Gubernur kita ini, karena memang gunung adalah kawasan yang disucikan. Namun, bagi yang bekerja sebagai pemandu pendakian gunung mesti harus dicarikan alaternatif perkejaan, apakah dengan tetap mengelola gunung itu sebagai destinasi wisata dengan radius tertentu agar kawasan suci gunung tetap terjaga,” tandas Wirata Dwikora. (Winatha/balipost)

 

BAGIKAN