I Nyoman Winata. (BP/Istimewa)

Oleh I Nyoman Winata

Pariwisata Bali pascapandemi hingga kini belum pulih. Kunjungan wisatawan manca negara (wisman) ke Bali kuartal pertama 2023 hanya 1,4 juta orang.  Ironisnya, di tengah kondisi pariwisata Bali yang baru menggeliat, sejumlah persoalan menerpa. Salah satunya, banyak wisman yang berulah melakukan pelanggaran-pelanggaran baik hukum maupun nilai etika budaya.

Menurut Kantor Imigrasi Bali, sepanjang Januari hingga Mei 2023 terdapat 123 warga negara asing (WNA) yang dideportasi karena melakukan pelanggaran. Nampak kemudian kesan bahwa wisman yang berlibur di Bali kebanyakan tidak berkualitas.

Pengamat dan praktisi pariwisata mensinyalir kondisi ini tidak lepas dari kebijakan mendatangkan wisman yang terkesan murahan. Salah satunya kebijakan Visa on Arrival (VoA) bagi wisman dari puluhan negara. Kebijakan memudahkan wisman ini, tidak lepas dari kondisi pariwisata yang terpuruk akibat pandemi. Kehadiran wisman begitu diharapkan bahkan dirindukan. Kenyataannya, kebijakan murahan justru mendatangkan wisman bermasalah.

Baca juga:  Permudah Pamedek ke Pura Lempuyang Luhur, Bakal Dibangun Tangga

Ditengah kondisi yang mengusik banyak pihak tersebut, wacana mewujudkan pariwisata Bali berkualitas kembali mencuat ke permukaan. Logikanya, agar wisman yang datang berkualitas, pariwisata Bali mestilah berkualitas pula. Pariwisata murahan, hanya mendatangkan wisman kelas bawah yang banyak menimbulkan masalah.

Wacana pariwisata berkualitas sudah lama muncul. Namun hingga kini, belum juga mewujud. Bahkan jalan terjal dan berliku menghadang. Jalan terjal berliku tersebut diantaranya;  Pertama, jumlah ketersediaan sarana akomodasi yang sudah sangat berlebih. Kamar hotel saat ini sudah lebih dari 140 ribu kamar. Ini belum termasuk villa, homestay dan akomodasi murah lainnya. Hukum dasar ekonomi berlaku, jika penawaran lebih tinggi dari permintaan, harga menjadi murah.

Baca juga:  Mencapai Pariwisata Berkualitas, Masalah Kemacetan Perlu Segera Dituntaskan

Kedua, berkuasanya kepentingan pasar. Saat ini pariwisata Bali sudah sangat kapitalistik. Sulit menempatkan kepentingan diluar kapital dalam kebijakan kepariwisataan. Hal ini berakibat pada sulitnya membendung arus investasi ke Bali. Moratorium pembangunan hotel di Bali Selatan yang sempat diwacanakan misalnya, dimentahkan pemerintah pusat.

Ketiga, ketergantungan ekonomi Bali terhadap pariwisata sangat besar, mungkin sudah pada tahap kecanduan. Ibarat manusia yang kecanduan narkoba, jika tidak mengkonsumsi justru  menjadi lemah. Maka, tanpa pariwisata, ekonomi Bali seperti lumpuh.

Ketiga kondisi tersebut diatas, menyulitkan upaya mewujudkan pariwisata berkualitas. Dengan jumlah sarana akomodasi yang melimpah ruah, pariwisata Bali terpaksa dijual dengan murah. Kepentingan kapital seringkali mengabaikan kualitas karena keuntungan belaka yang menjadi tujuan.

Baca juga:  Revolusi Pertanian 4.0

Sedangkan perekonomian yang kecanduan pariwisata membuat nilai-nilai ideal sebagai dasar dari hal yang berkualitas tidak memiliki ruang. Contoh kasus, ketika wacana menentukan kuota wisman yang berlibur ke Bali sebagai upaya mewujudkan pariwisata berkualitas dilontarkan, suara penolakan langsung menggema. Para pengusaha dan pelaku pariwisata berteriak, menentang wacana tersebut karena takut mengalami kerugian.

Ada satu jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan pariwisata Bali berkualitas yakni kerelaan bagi seluruh komponen untuk berkorban. Merelakan kepentingan pribadi atau korporasi dikalahkan. Jalan yang ditempuh menuju pariwisata berkualitas pastilah akan menimbulkan rasa sakit.  Seperti terapi pengobatan bagi yang kecanduan narkoba. Siksaaan dalam proses detoksifikasi pasti akan terjadi. Siapkah bersama-sama menjalani pengobatan menghilangkan ketergantungan akan  pariwisata demi terwujudnya pariwisata berkualitas?

Penulis, Redpel Bali Post

BAGIKAN