Berbagai tarian dipentaskan dalam Festival Nungkalik yang diprakarsai BEM ISI Denpasar di Pantai Segara Ayu, Sanur. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com. Pantai Segara Ayu, Sanur, Denpasar, ramai didatangi warga kampus sejak pukul 09.00 WITA, Kamis (20/4). Di pantai berpasir putih ini, seratusan mahasiswa dari berbagai peguruan tinggi terlibat dalam acara festival seni yang diprakarsai BEM ISI Denpasar.

Festival itu digelar sebagai pemaknaan terhadap fenomena fase bulan baru dan gerhana matahari hybrid yang dapat diamati dari Bali. Festival Nungkalik “Penumbra’s Final Gloom”, Menjangkar Konsep Eksperimental Umbra, demikian nama festival tersebut, yang berlangsung cukup fenomenal dengan menghadirkan karya-karya konseptual eksperimental yang otentik.

Menampilkan tiga tarian kontemporer, mahasiswa ISI Denpasar merespons fenomena alam itu dengan gerakan tari. Diawali dengan Tari Langit-Lelangit sebagai simbol Dewa Brahma mencari Hyang (kebenaran), para penari meliak-liukkan tubuhnya, sembari memainkan obor.

Bersama beberapa perupa, termasuk Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. Made Kun Adnyana, penari menggambar berbagai objek dengan asap obor yang diacung-acungkan ke bidang-bidang kanvas yang dibentangkan secara horizontal. Kemudian dilanjutkan dengan Tarian Sunari, sebagai simbol untuk mengukur keberadaan Dewa Siwa melalui bunyi angin.

Baca juga:  Megawati Hadiri Penutupan Festival Tanah Lot

Dalam tarian ini, sejumlah mahasiswa menari menggerak-gerakkan bambu, yang pada beberapa ruasnya dilubangi. Mendapat terpaan angin pantai, bambu berlubang itu menghasilkan suara merdu.

Memasuki momen mulai berlangsungnya gerhana matahari, mahasiswa merespons dengan Tarian Suryakanta– tarian merajah tanah yang dibantu dengan energi matahari atau Dewa Surya dalam upaya Dewa Wisnu mencari Hyang (kebenaran) ke bawah. Dalam tarian ini, para penari membawa sejumlah kaca pembesar untuk menangkap sinar matahari, kemudian difokuskan pada helai-helai kertas berwarna coklat.

Asap pun muncul di kertas, sebagai bukti bahwa energi panas sinar matahari, bisa dibuktikan secara sederhana.
Menampilkan gagasan baru, Festival Nungkalik ini dimatangkan dengan open space mengenai seni dengan menghadirkan dua narasumber dari ISI Denpasar yakni Dr. I Wayan Sujana Suklu, S.Sn., M.Sn. dan Ketut Sumerjana, S.Sn., M.Sn. Kedua narasumber berbagi seni dalam agenda workshop, kepada mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi.

Alhasil berbagai karya lukis dihasilkan mahasiswa dengan media beragam, termasuk dengan media barang bekas. Tak kalah menarik, para peserta yang hadir diberikan kesempatan untuk melukis bersama di media kertas putih yang berukuran cukup panjang.

Baca juga:  Soal Pergub No. 97, APDB Minta Penggunaan Styrofoam untuk Dekorasi Diizinkan

Artefak-artefak yang memiliki nilai keragaman bentuk dan garis itu, akan dipamerkan pada akhir April 2023, untuk menyambut hari Menggambar Nasional melalui rangkaian acara Menggambar Gembira Nasional pada tanggal 2 Mei 2023.

Presiden BEM ISI Denpasar, Putu Durga Laksmi Devi didampingi salah satu Pembina BEM ISI Denpasar Dr. I Wayan Sujana Suklu, S.Sn., M.Sn. menyampaikan, fenomena umbra dan penumbra pada peristiwa gerhana matahari total pada Kamis 20 April 2023, memberi inspirasi bagi pelaku kreatif. Gelar perdana Festival Nungkalik sepertinya meminta berkat dari peristiwa semesta tersebut, melalui ritus seni rupa pertujukan bertajuk “Penumbra’s Final Gloom”.

Nungkalik Festival “Panumbra’s Final Gloom” ini diharapkan mampu menciptakan dan menampilkan karya konseptual eksperimental yang berdasarkan pada konsep yang kuat, sebagai bentuk respons mahasiswa ISI Denpasar terhadap fenomena-fenomena yang tengah terjadi, seperti gerhana matahari. Festival ini memberikan ruang diskusi tentang wacana seni terkini, dan mengedukasi secara praksis pemuliaan terhadap alam.

Baca juga:  Kapolda Bali Perintahkan Ganti Sopir Bus Mudik Tidak Sehat

Rektor ISI Denpasar, Prof. Kun Adnyana mengapresiasi gagasan BEM ISI Denpasar menggelar Festival Nungkalik untuk memaknai fenomena alam berupa gerhana matahari hibrid. Ini sebuah festival yang mengajak seluruh mahasiswa memasuki pengalaman otentik dengan menghayati karisma landskap Bali yang tiada duanya di dunia.

Mahasiswa seni diharapkan tidak hanya lihai berkarya di studio, tetapi harus memiliki kesiapan menjelejah, dan merekam karisma pemandangan Bali, baik dari sisi warna, karakter, maupun vibrasi yang berhubungan dengan nilai-nilai budaya. Tema yang diangkat dalam festival juga sangat relevan dan kontekstual dengan fenomena gerhana matahari.

Berangkat dari perspektif otentik yang asli, mahasiswa menghadirkan koreografi Suryakanta, yang memberi makna bahwa matahari merupakan sumber kehidupan. Lewat seni, mahasiswa ingin mewartakan perlunya pemuliaan terhadap alam, dalam hal ini matahari sebagai sumber energi. (Subrata/balipost)

BAGIKAN