Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kesejahteraan, kemiskinan, dan politik menarik untuk dikaji karena kebutuhan. Ketiganya dipadukan dan dipadankan dalam konstelasi bahwa sekarang dan beberapa saat ke depan akan dihadapkan pada situasi dan kondisi waktu yang menunjuk kepada keputusan untuk perubahan. Keputusan untuk perubahan sering menjadi jargon dalam berpolitik. Seterusnya, perlu dikaji bagaimana politik tidak terjebak dalam jargon itu dan masuk ke dalam persoalan yang sebenarnya dari kesejahteraan dan kemiskinan.

Kemiskinan dapat menjadi konsumsi politik dan politis. Sedang, kesejahteraan pun dapat direalisasikan dalam kampanye politik baik resmi ataupun tidak resmi. Nyaris selalu ditemukan dalam berbagai kesempatan antara kemiskinan dan kesejahteraan itu dijadikan sebagai konsumsi politik praktis.

Pada konteks itu dikatakan bahwa kemiskinan adalah objek dan kesejahteraan adalah subjek. Hubungan antara objek dan subjek inilah yang diperankan secara politik oleh siapa saja yang berkepentingan untuk itu. Pada dasarnya bahwa kepentingan politik mesti dimurnikan. Itulah yang mestinya menjadikan setiap kegiatan politik adalah ketulusan yang menjadi dasar dari kemurnian sehingga politik bukan menjadi penuntasan yang semu atas kemiskinan.

Baca juga:  Pembangunan Bali dan Era Revolusi Industri 4.0

Penghindaran terbentuknya kemiskinan baru mesti dilakukan sembari kemiskinan yang lama dilenyapkan dengan tuntas. Inilah yang disebut dengan kemiskinan yang terhapus. Terhapus oleh kegiatan manusia itu sendiri termasuk dalam kegiatan berpolitik. Kegiatan berpolitik itu memerlukan kemauan untuk menuntaskan kemiskinan. Kemiskinan yang hendak dihapuskan itu memerlukan suatu bentuk kemauan politik.

Namun demikian, kesejahteraan adalah kemurnian bukan semata-mata kemauan politik. Kecuali kalau kemauan politik yang didasarkan atas ketulusan untuk membentuk kemurnian itu. Di sini lah sebenarnya politik diuji secara serius yang artinya diuji secara benar. Pengujian secara benar salah satu indikatornya adalah kegiatan berpolitik yang memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

Dari kesadaran atas terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa dan negara inilah kemudian menelurkan gagasan tentang sejahtera untuk semua. Bukan sejahtera untuk segolongan.

Pula keberadaan negara mesti dapat mengayomi agar orang atau pun siapapun juga untuk tidak terjebak konstelasi sempit dalam berpartai politik yang bergerak pada tataran politik praktis namun tidak membangun tatanan kenegaraan yang memberikan kedewasaan.

Baca juga:  Mitigasi Gempa dan Tata Ruang Bali

Visi dan misi partai akan memperlihatkan dengan jelas tentang itu. memberikan kesempatan yang selebar-lebarnya dan seluas-luasnya untuk mampu menjadikan setiap warga membangun pikiran yang cerdas dengan tidak memutarbalikkan fakta.

Kemudian dapat ditempuh penerapan kesejahteraan yang linear. Artinya, bahwa keadaan bangsa tidak terlepas dari garis sejarahnya. Akan tetapi, garis sejarah itu jangan sampai dibengkokkan karena fanatisme yang mematikan akal sehat. Kematian akal sehat mesti dilenyapkan dalam rangka untuk membangun kesejahteraan yang dapat diterapkan.

Kefanatikan dimengerti sebagai bentuk yang memaksakan kemauan atau kehendak. Inilah yang rentan dalam menerapkan kesejahteraan. Kesejahteraan tidak mungkin dengan jalan identitas terselubung ideologis melainkan menuntun ke arah bagaimana metode kesejahteraan terasa mendamaikan bagi segenap masyarakat untuk bersama menuju kepada suatu bentuk keadilan yang damai.

Keadilan yang damai lagi tenteram belum tentu dapat masuk dalam ranah politik. Karena politik terkait langsung dengan kepentingan kekuasaan sedangkan keadilan yang damai lagi tenteram itu masuk dalam wilayah kemanusiaan. Kemanusiaan yang berperasaan bahwa manusia sebagai sesuatu yang luhur dan mulia.

Baca juga:  Membangun Perekonomian Adat Bali

Agar politik menjadi tetap efektif dan efisien namun tetap luhur dan mulia caranya adalah politik mesti meninggalkan sejenak ataupun jika mungkin selamanya untuk kemudian bermetode secara jujur bahwa dirinya itu bukan segala-galanya. Ini berarti bahwa politik tidak mesti berbaju agama, etnis, atau apapun melainkan berselimutkan kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan yang dituntut adalah kemanusiaan yang adil dan beradab tidak dimengerti sebagai kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab sekalipun berbungkus dengan ideologi apapun.

Kemana pun kemiskinan itu melangkah tidak akan dituntun dengan alasan politis apapun juga termasuk agama, etnis, dan seterusnya itu melainkan dituntun dengan menerapkan kemanusiaan yang berdimensi keadilan dan keberadaban. Itu pertanda penting bahwa kemajuan kemanusiaan dengan dasar penghapusan kemiskinan tidak diterapkan dengan jalan politis praktis melainkan dengan jalan politik memanusiakan kemanusiaan yang murni terlepas dari unsur praktis politis sesaat saja. Pada dasarnya, kemiskinan menjadi bahan untuk perpolitikan hendaknya kesejahteraan yang didahulukan untuk menciptakan sistem yang relevan dalam meningkatkan berkurangnya orang miskin.

Penulis Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *