I Ketut Eriadi Ariana. (BP/win)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali, Wayan Koster, berencana menjadikan sejumlah gunung di Bali sebagai kawasan suci. Apalagi, gunung sebagai kawasan suci sudah masuk dalam Perda RTRW Provinsi Bali 2023-2043. Menanggapi hal tersebut, Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia Bali mendukung dan mengapresiasi rencana Gubernur tersebut.

Sekretaris DPP Peradah Indonesia Bali, I Ketut Eriadi Ariana, seizin Ketua DPP Peradah Indonesia Bali, mengatakan perlindungan terhadap gunung sebagai kawasan suci sangat diperlukan. Terlebih belakangan ini telah banyak kejadian yang dinilai menodai kesucian gunung yang disucikan. Oleh karena itu, Peradah Bali menunggu eksekusi nyata wacana Gubernur Koster tersebut dalam regulasi yang tepat.

“Saya secara pribadi dan atas nama organisasi mengapresiasi wacana tersebut. Kami menunggu eksekusi nyata dalam kebijakan yanng tepat dan terukur,” ujar Eriadi, Rabu (1/2).

Jero Penyarikan Duuran di Pura Ulun Danu Batur ini menuturkan sejak menjabat sebagai Ketua DPK Peradah Indonesia Bangli pada tahun 2018-2021, pihaknya telah mendorong kebijakan perlindungan gunung sebagai kawasan suci kepada pemerintah. Terlebih, dalam tahun-tahun tersebut pihaknya melihat berbagai peristiwa yang sering dianggap menodai kesucian gunung. Terutama di Gunung Batur dan Gunung Abang yang berada di Kabupaten Bangli.

Baca juga:  HIPMI Diminta Manfaatkan Peluang Bisnis di LN

“Dulu pernah ada wacana pembangunan kereta gantung di Bukit Abang yang bagi masyarakat di sana juga berpotensi mengurangi kesucian gunung itu, termasuk banyak kasus asusila di media sosial yang terjadi di Gunung Batur dan dilakukan oleh oknum wisatawan tidak bertanggung jawab, termasuk terjadinya kecelakaan wisatawan yang berujung pada kematian. Itu semua dinilai sebagai mala, sehingga masyarakat biasanya akan melakukan prayascita,” tandasnya.

Secara tradisi, alumni Sastra Jawa Kuno Unud ini menegaskan bahwa keberadaan gunung dalam konsep keyakinan Hindu di Bali sangat sentral. Menurutnya, Gunung adalah mandala penting yang sarat dijadikan simbol kosmos. Bahkan, dalam teks Usana Bali, Raja Purana Pura Ulun Danu Batur, Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, dan Kakawin Purwaning, Gunung Agung adalah beberapa teks tradisional yang membiacarakan hal tersebut. Dalam konteks Bali, Gunung Agung dan Gunung Batur diwacanakan sebagai “kepingan” Gunung Mahameru dari Jambudwipa, yang dipindahkan oleh Ida Bhatara Pasupati untuk menjaga kestabilan Pulau Bali.

Baca juga:  Pemanfaatan Lahan Atas Perda RTRWP 2/2023

“Wacana ini penting dibaca, minimal dalam konteks ekologis karena gunung adalah kawasan resapan air, sehingga kelestariannya sangat penting dilakukan bagi Bali yang kecil. Menjaga kelestarian fisik dan batin gunung-gunung di Bali wajib dilakukan oleh krama Bali,” katanya.

Ia menjelaskan, menurut teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul koleksi Perpustakaan Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, gunung-gunung di Bali juga dipilih sebagai stana para dewa, termasuk Dewata Sad Kreti Bali. Bahkan, secara khusus disebutkan konsep Giri Kreti yang artinya memuliakan gunung sebagai satu dari enam Sad Kreti (enam kemuliaan).

Menurut teks itu ada Giri Kreti pusatnya di Gunung Besukihan atau Gunung Agung, Wana Kreti di Gunung Batukaru, Sagara Kreti di Pulau Sakenan, Ranu Kreti di Pantai Watuklotok, Swi Kreti di Pura Luhur Pakendungan, dan Jagat Kreti di Pantai Airjeruk. Sementara dalam konteks yang lebih besar, Gunung Agung adalah puncak dari potongan Gunung Mahameru, Gunung Batur bagian terbawah potongan itu, dan Gunung Rinjani di Lombok bagian tengah dari potongan tersebut. Bahkan, lanjutnya, Gunung Lempuyang, Andakasa, Pucak Mangu, Gunung Kawi, dan lain-lain juga disebutkan menjadi stana putra-putra Ida Bhatara Pasupati,” ungkapnya.

Baca juga:  Spanduk Dukungan Figur Rai Mantra dan Suradnyana Muncul di Buleleng

Meskipun demikian, Jero Penyarikan Duuran Batur turut mengingatkan agar wacana perlindungan gunung di Bali dapat dipikirkan secara bijak. Sebab, selama ini juga ada banyak krama Bali yang menggantungkan hidup dari pariwisata pendakian.

“Saya kira yang paling penting dalam wacana ini ke depan adalah tata kelolanya. Karena banyak ‘payuk jakan’ krama di sekitar gunung juga bergantung pada gunung itu, misalnya untuk pariwisata. Jika terlampau dikelola menjadi objek pariwisata, sebaiknya jangan diizinkan sampai ke puncak atau kawasan yang paling disucikan, tapi hanya pada titik-titik tertentu, buat zona-zona khusus. Jika ingin mendaki wajib didampingi guide yang betul-betul paham tata titi di gunung tersebut. Dalam hal ini adalah masyarakat adat setempat. Dengan demikian, tidak ada lagi wisatawan yang sembarangan mendaki gunung. Tata kelola ini termasuk tentang waktu pendakian ideal. Jangan seperti Gunung Batur saat ini yang memiliki banyak pintu pendakian dan tidak pernah libur, meskipun ketika ada pujawali di Pura yang terkait dengan Gunung Batur,” pungkasnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *