Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Torehan sejarah Sanur tergores sejak kehadiran Prasati Blanjong yang bertarikh 835 Caka (914 M) di tepian pesisir pelabuhan kuno Sanur yang menjadi pintu ke dunia luar. Penulisan prasasti Blanjong dalam bahasa dan aksara yang jamak, seakan menegaskan bahwa Bali adalah bagian dari pergaulan internasional. Di satu sisi menggunakan bahasa Bali Kuno dengan aksara Pre-Nagari, sementara pada sisi prasasti yang lain menggunakan bahasa Sansekerta dengan aksara Bali Kuno/Kawi.

Sri Kesari Warmadewa sebagai pendiri dinasti Warmadewa seakan menegaskan bahwa peradaban Bali telah menjadi bagian Sanskrit cosmopolis seiring dinamika sosio-politik global abad 9-10. Goresan sejarah Sanur berlanjut melalui peristiwa perang puputan Badung pada 20 September 1906, yang berawal dari terdamparnya kapal dagang Sri Komala milik pedagang Cina bernama Kwee Tek Tjiang yang berbendera Belanda pada 27 Mei 1904 di Pantai Sanur.

Menurut Belanda, muatan kapal tersebut dinyatakan telah hilang karena dicuri dan dirampok. Padahal, warga Sanur saat itu merasa telah memberikan pertolongan dan menyerahkan muatan dengan rapi kepada syahbandar. Namun, pihak Belanda tetap meminta tebusan atas barang yang dinyatakan hilang atau dirampok itu. Dengan alasan inilah, terjadi penyerangan terhadap Kerajaan Badung, pada 20 September 1906.

Baca juga:  Prasasti Blanjong sebagai Monumen Keberaksaraan Bali

Kawasan Sanur kembali mencatat sejarahnya ketika Andrien Jean Le Mayeur de Merpres -seorang pelukis asal Belgia keturunan bangsawan yang lahir pada 9 Februari 1880 di Ixelles Brussel, Belgia- sejak tahun 1935 tinggal di tepian pantai Sanur. Le Mayeur adalah pelukis yang secara akademis justru menyandang gelar insinyur bangunan. Le Mayeur memilih tinggal di kawasan Pantai Sanur, Denpasar, Bali, dan membangun rumah sekaligus studio lukis di sana. Setelah sukses pada pameran tunggalnya di Singapura pada tahun 1932, dengan model utama Ni Nyoman Pollok -seorang penari legong dari Banjar Kelandis, Denpasar yang kemudian menjadi istri Le Mayeur – sebagai sumber inspirasinya;.

Sejarah panjang Sanur kembali tergores ketika pada tahun 1963 Presiden Soekarno membangun Hotel Bali Beach berlantai 10 yang berstandar internasional. Hotel Bali Beach merupakan hasil program pampasan perang dari Jepang bersamaan dengan Hotel Indonesia (Jakarta), Hotel Ambarrukmo (Yogyakarta), dan Samudra Beach Hotel (Pelabuhan Ratu).

Baca juga:  Tantangan Pelayanan Kesehatan

Saat itu, pantai Sanur bukanlah lokasi wisata, melainkan pantai yang disakralkan masyarakat dan digunakan untuk melarung. Bung Karno-lah yang melihat potensi pariwisata pantai ini sehingga membangun Hotel Bali Beach. Lokasi hotel bertetangga dengan kediaman sahabatnya, pelukis Le Mayeur dan sang istri, Ni Pollok, yang memang sering dia kunjungi.

Sanur masa kinipun terus menjaga cultural heritage yang ada. Kawasan Sanur saat ini dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kesehatan dan Pariwisata dengan rencana bisnis fasilitas kesehatan (rumah sakit dan klinik), akomodasi hotel dan MICE, Etnomedicinal Botanic Garden, dan Commercial Center. Terdapat komitmen investasi dari PT Pertamina Bina Medika untuk pembangunan rumah sakit internasional bekerjasama dengan Mayo Clinic.  Rumah sakit internasional ini akan memiliki peralatan canggih terbaru dan menghadirkan dokter terbaik dalam negeri yang bekerja sama dengan tenaga kesehatan dan dokter asing dalam rangka mewujudkan transfer knowledge.

Baca juga:  Cagar Budaya Nasional Prasasti Blanjong

Total luas lahan yang digarap adalah 41,26 Ha atas nama PT Hotel Indonesia Natour (PT HIN), memiliki nilai investasi sebesar Rp10,2 Triliun dengan target serapan tenaga kerja sebanyak 43.647 orang. KEK Sanur juga menjadi jawaban atas tantangan saat ini, dimana banyak penduduk Indonesia lebih memilih untuk mendapatkan perawatan medis ke luar negeri. Kawasan Sanur telah melintasi zaman menorehkan jejak sejarah peradaban Bali. Sebagai wujud sebuah kebudayaan, telah diwariskan cultural heritage bagi krama Bali masa kini. Semua ini bagai bahan bakar kebudayaan bagi tungku peradaban Bali. Peradaban Bali memang mengalami pasang surut sesuai perubahan dan dinamika zaman.

Penulis, arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN