Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Demonstrasi ribuan kepala desa (kades) di Gedung DPR pada Selasa (17/1) menghasilkan dua kesepakatan, salah satunya masa jabatan (kades) diperpanjang dari 6 menjadi 9 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk periode kedua. Tak hanya DPR, Presiden Jokowi melalui Budiman Sudjatmiko menyatakan persetujuan atas tuntutan yang masuk akal tersebut. Fakta di lapangan, pemilihan kades kerap menimbulkan polarisasi dan ketegangan sosial di desa, dibutuhkan waktu yang panjang untuk menciptakan keharmonisan dan melakukan pembangunan di desa.

Dalam konteks ini, leadership di desa patut mendapat perhatian. Keberhasilan kepemimpinan di desa dalam membangun potensi desa, berkontribusi terhadap pembangunan nasional. Dalam konteks pariwisata, sektor yang digadang-gadang menjadi lokomatif pertumbuhan ekonomi pasca pandemi, menumbuhkan para local hero di yang tersebar di berbagai desa, yang selama ini berupaya survive dengan usaha dan komunitas yang dibina.

Kemiskinan, keterbelakangan dan kemunduran aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan, dan apa saja, membutuhkan sentuhan orang-orang Indonesia dengan mindset, attitude, skill dan knowledge laiknya seorang entrepreneur. Kinerja kepemmpinan dan pemerintahan desa yang mencerminkan semangat entrepreneurship dapat dimonitor lewat dinamika kolaborasi dengan berbagai pihak yang ujung-ujungnya akan memajukan kepariwisataan desa. Lebih-lebih guna mewujudkan impian pembangunan pariwisata berkelanjutan Indonesia yang bertumpu pada empat pilar strategis atau triple track strategy plus, yakni pro-pertumbuhan ekonomi, pro-penciptaan lapangan kerja, pro-pengentasan kemiskinan dan pro-lingkungan hidup, government entrepreneurship di tataran kades teramat penting

Baca juga:  Adaptasi Hidup Bersama Covid-19

Tumbuhnya desa-desa wisata yang di dalamnya digerakkan oleh para local champion, berperan besar dalam memeratakan pergerakan wisatawan domestik. Banyak desa wisata yang baru bermunculan, sangat mengesankan, bahkan sebagian besar berhasil survive dan bertumbuh, didirikan, dikelola dan dikembangkan oleh ‘orang-orang yang tidak masuk akal’. Mereka adalah para local hero yang berdedikasi, berintegritas, meyakini akan suatu visi pembangunan desa, serta menggerakkan orang-orang di sekitarnya untuk bergerak maju bersama.

Sebagaimana disampaikan John Elkington dan Pamela Hartigan dalam bukunya yang berjudul “The Power of Unreasonable People” (2008), bisnis yang selama ini dikenal sebagai ajang mengejar kekayaan personal, oleh orang-orang ‘gila’ (unreasonable people) yang tersebar di desa-desa wisata, diubah menjadi sarana untuk memecahkan masalah-masalah sosial dan membantu banyak orang di desa menjadi lebih sejahtera, lingkungan terpelihara dan menahan laju urbanisasi. Maka, sekali lagi, keefektifan kepemimpinan di desa sangatlah penting, dalam hal ini durasi waktu 9 tahun dinilai tepat.

Dampak dari investasi di bidang pariwisata dan bertumbuhnya berbagai destinasi wisata baru nan menarik di berbagai daerah di Indonesia mampu mengubah tren perjalanan wisata di negeri ini. Bandung, selain selama ini telah dikenal sebagai destinasi wisata belanja, dengan adanya berbagai ikon destinasi wisata baru semakin memperkuat branding sebagai the next destination. Di Jawa Timur, misalnya, pertumbuhan industri wisata tidak hanya terfokus di Surabaya, tetapi juga terlihat di berbagai daerah, seperti Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu), Jember, Banyuwangi, Pacitan dan sebagainya.

Baca juga:  Mitigasi Hidrometeorologi

Penelitian yang saya lakukan beberapa tahun lalu di kota Batu menemukan beberapa kekuatan yang menjadi daya saing turisme Batu. Di antaranya, jarak antara satu destinasi ke destinasi wisata lainnya mudah dijangkau (point to point reachable), petunjuk jalan jelas dan accessible, tersedia restaurant local food dengan menu dan kemasan tradisional yang menarik, masyarakat lokal ramah, helpful dan sadar wisata, infrastruktur menunjang, jalan-jalan bersih, serta sinergi antara PHRI dan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) setempat berjalan baik. Ada keterbukaan sektor hotel dan restoran (PHRI) setempat untuk menerima produk-produk yang dihasilkan Gapoktan. Beberapa kekuatan ini menjadi modal penting untuk meningkatkan daya saing menarik pengunjung.

Pada masa pandemi Covid-19 ini, investasi di bidang pariwisata di berbagai daerah diperlukan untuk mengembangkan keunggulan daerah serta mereduksi kelemahan di berbagai sisi yang masih melekat di daerah. Penciptaan ikon baru destinasi wisata di berbagai daerah merupakan urgensi dalam industri pariwisata di Tanah Air, selain profesionalitas dalam pemasaran, pengemasan even dan memperbanyak penerbangan langsung dari luar negeri ke Indonesia. Keberanian pengusaha berinvestasi di daerah untuk menciptakan ikon baru adalah keputusan bisnis dengan resiko yang terukur. Di samping memperhatikan dengan jeli potensi daerah, juga pertumbuhan kelas menengah yang mengakibatkan kebutuhan atau permintaan berwisata yang akan semakin tinggi.

Baca juga:  Tumpek Krulut, ”Ngilitang Lulut”

Di sinilah kunci pengembangan pariwisata, ada di desa dan di pemerintah desa. Pariwisata dapat memberi kontribusi yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mempunyai efek pengganda yang besar terhadap perkembangan ekonomi daerah dan menyejahterakan warga desa. Untuk mengembangkan potensi pariwisata di desa, tak sedikit kades dan para local champion di desa yang memiliki cara kerja entrepreneurial dengan melipatgandakan berbagai sumber daya yang dimiliki untuk menciptakan nilai lebih dan daya saing desa.

Kiranya desa semakin bertumbuh melalui sosok-sosok kades yang kompeten, memiliki hati untuk warga desa dan entrepreneurial. Di desa terdapat kekayaan tradisi, adat istiadat dan kesenian, dan alam yang lestari. Maka, dengan sentuhan turisme dan kreativitas lainnya, haruslah benar-benar menjadi berkah bagi warga desa dan bangsa ini.

Penulis, Dosen Hospitality Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN