Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Seminggu yang lalu beredar kabar aksi pornografi yang diduga direkam di salah satu hotel di Surabaya. Beruntung
kepolisian bertindak cepat, mengidentifikasi lokasi dan menangkap terduga pelaku. Perilaku konsumen yang tidak bertanggung jawab di hotel, menjadikan hotel dirugikan. Tahun 2019, pernah dilakukan OTT KPK di sebuah hotel bintang lima di Surabaya, hal yang sama menunjukkan posisi dilematis hotel sebagai penyedia jasa akomodasi.

Di satu sisi, sebagai wujud fisik pengejawantahan nilai
hospitality yang memberikan layanan prima ke￾pada setiap tamu yang datang dan menginap, hotel menjadi pilihan banyak orang. Semakin tinggi kelas/star rating hotel, maka semakin bergengsi dan menjadi idaman segmen pasar yang setara.

Namun di sisi lain, di posisi segmen pasar ini hotel rentan menjadi sasaran aparat penegak hukum, setidaknya hal itu terjadi pada beberapa peristiwa yang melibatkan tokoh masyarakat.

Menjadi penyedia jasa akomodasi tidaklah mudah bagi industri perhotelan dewasa ini untuk bertahan (sustain) dan bertumbuh (growth). Pertama, tiap hotel harus selalu berinovasi untuk memperkuat reputasi merek. Philip Kotler, dkk (2003) mengatakan, ranah bisnis hospitality san￾gat massive dengan service.

Baca juga:  Budaya dan Politik Ekonomi

Selain itu, menurut Oxford Advance Learner’s Dictionary (2000), hospitality didefinisikan sebagai friendly and generous behavior towards guests: food, drink, or services that are provided by an organization for guests, customer, etc. Inilah inti (value preposition) dari tiap hotel yang diterjemahkan melalui layanan prima setiap waktu pada setiap tamu.

Kedua, saat ini sangatlah penting dukungan dari pasar yang loyal untuk membuat bisnis perhotelan bertahan dan bertumbuh. Tidak hanya bisnis yang etis yang menjadi tuntutan pengelola industri dan pelaku usaha, tetapi juga konsumen yang berkeutamaan dan yang mencintai produk
dalam negeri yang menjadi pondasi bisnis dalam negeri. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.

Konsumen yang berkeutamaan lah yang dibutuhkan di setiap lini bisnis di Tanah Air. Dari sisi konsumen hotel, tamu yang bertanggung jawab tidak melakukan tindakan kriminal dan aspek lain yang bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, yang pada akhirnya merugikan
reputasi hotel.

Baca juga:  Perempuan dan Konstruksi Spiritualitas Bangsa

Di sinilah letak implementasi pariwisata yang berkualitas (quality tourism), di mana kehadiran konsumen memberi manfaat secara positif kepada lingkungan, masyara￾kat, pelaku usaha.

Tantangan Hotel

Di awal kepemimpinan Presden Jokowi, diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada 31 Desember 2015, masing-masing hotel dituntut untuk melakukan sertifikasi standar usaha, dan menyertakan minimal 50 persen dari karyawannya dalam sertifikasi profesi. Kemudian, pemerintah pusat merespons desakan kalangan perhotelan yang mengeluhkan dampak buruk larangan PNS menyelenggarakan kegiatan di hotel dengan memastikan tidak menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi perhotelan.

Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomer 43 tahun 2015 yang dikeluarkan 9 Maret. Adapun jasa perhotelan yang tidak dikenakan PPN adalah jasa sewa ruangan di hotel dan penyewaan kamar beserta tambahannya yang terkait jasa bagi tamu yang menginap. Di antaranya, pelayanan kamar (room service), air conditioning, binatu (laundry and dry cleaning), kasur tambahan (extra bed), perlengkapan tetap (fixture and furniture), telepon dan internet, safety box, televisi satelit dan kabel, minibar, fasilitas olah raga dan hiburan, fotokopi, dan transportasi hotel untuk antar jemput tamu.

Baca juga:  Di Depan Pagar Ekonomi Pandemi

Adapun jasa biro perjalanan yang diselenggarakan
jasa perhotelan akan dikenakan PPN. Poin penting dari stimulus tersebut diyakini membangun atmosfer yang positif di kalangan pelaku perhotelan. PMK 43/2015 dan didukung PMK 70/PMK.03/2022 yang mulai berlaku 1 April 2022, menjadi tanda tumbuhnya gairah di kalangan perhotelan untuk meningkatkan daya saing kompetitifnya.

Di sini, tidak hanya konsumen yang harus dilindungi, tetapi juga penyedia jasa perhotelan. Di satu sisi, hotel harus kreatif dan inovatif dalam menyikapi peraturan dan kompetisi sebagaimana diuraikan di atas, di sisi lain mengelola pasar yang berkontribusi bagi pertumbuhan serta keberlanjutan hotel di masa depan.

Posisi hotel yang kerap tidak diuntungkan manakala menjadi sasaran tindakan penegakan hukum, perlu didukung dengan rasa ikut memiliki dari benak konsumen. Dengan kolaborasi itu, hotel semakin memenangkan hati banyak orang dan bertumbuh dengan pondasi pasar yang loyal dan berkontribusi positif.
Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN