I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Agama Hindu dikenal sebagai agama tertua. Sumber ajaran Agama Hindu tunggal yaitu kitab suci Weda. Weda laksana sumber air yang mengalir terus menerus dalam kurun waktu panjang dan melalui wilayah teramat luas. Tak heran, wajah penampakannya dapat berubah-ubah, namun tetap terangkum dalam saripati Weda.

Oleh karena itu, diperlukan ”kesatuan sraddha”, bukan semata-mata ”kesatuan tafsir“ untuk dapat mempelajari, mengupas lanjut mendalaminya. Meskipun kemudian dalam pengejawantahan berupa penafsiran dan penampakan pola etika dan tata cara pelaksanaannya menunjukkan keberagaman, namun masih dibenarkan, sepanjang tetap berada dalam koridor Weda. Agama Hindu dengan ajaran Wedanya bukanlah merupakan doktrin mati tanpa apresiasi rohani. Elastisitas kehinduan telah membuktikan bahwa ajaran Weda tetap akan menjiwai denyut nadi keimanan umat Hindu yang sosialistis religius, di manapun berada dan oleh siapapun diajarkan serta dikembangkan.

Tak terkecuali apa yang belakangan begitu hangat perihal keberadaan “Sampradaya”. Apa pula Sampradaya itu? Kata Sampradaya adalah sebuah istilah dalam bahasa Sansekerta yang artinya memberi, menghadiahkan, menganugerahkan, menurunkan/mewariskan melalui tradisi. Istilah Sampradaya, sering juga dipadankan dengan sebutan “paksa” (sayap), paham, aliran, sekte, atau sempalan.

Baca juga:  SKB Larangan Sampradaya Hanya Obat Sementara di Tengah Kekisruhan

Sejatinya, Sampradaya adalah doktrin tradisional tentang pengetahuan. Sebuah aliran keagamaan/kerohanian/spiritualisme yang hidup dari tradisi Hindu, kemudian diteruskan melalui upanayana (inisiasi) dengan sadhana (disiplin) spesifik menurut petunjuk para gurunya. Keberadaan Sampradaya ini sesungguhnya merupakan pengejawantahan sloka kitab suci Bhagawadgita, IV. 11., dan VII. 21 : “Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku-terima dan di mana mereka semua menuju jalan-Ku oh Partha”. “Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, dengan bentuk apapun keyakinan yang tak berubah itu sesungguhnya Aku sendiri yang mengajarkannya”.

Lalu di mana letak permasalahan, tepatnya “kesalahan”  Sampradaya itu, hingga kemudian terbit SKB Nomor 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan Nomor 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tentang Pembatasan Kegiatan Pengemban Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali, yang kemudian berbuntut pada penutupan atas segala aktivitasnya di beberapa desa adat tertentu?

Baca juga:  Rekrutmen, Moratorium atau Pemecatan

Menelisik historinya, sebenarnya kehadiran atau keberadaan berbagai Sampradaya (terutama Indiasentris) di Bali sudah tidak asing lagi. Sejak puluhan tahun mereka eksis tanpa gejolak, apalagi penolakan. Hanya saja dalam perkembangan belakangan ini, setelah ditelusur ke akar rumput, setidaknya ditengarai ada dua penyebab utama. Pertama: eksklusivisme kelompok. Kehadiran Sampradaya dimaksud dipandang memosisikan diri sebagai kelompok aliran keagamaan (Hindu) yang “paling benar” menurut Weda (pegangannya). Ditambah tampilan atribut, simbol, dan tata cara peribadatan yang tampak “menjauh” dari dresta Bali. Ajaran Weda yang dilaksanakan umat Hindu di Bali pun sebenarnya tergolong Sampradaya (mayoritas Siwa Sidhanta) yang  juga berasal dari India, namun sudah “meloka-dresta” di Bali. Substansi dan esensinya tetap bersumber dari Weda, namun dengan tampilan materi (sosial, adat dan budaya) yang sesuai desa kala patra gumi Bali.

Baca juga:  Menghapus UN dan Orientasi Pendidikan

Kedua: arogansi oknum, yang cenderung “menyalahkan” apa yang secara turun-temurun (tradisional) sudah trepti dilaksanakan umat Hindu (di Bali). Sebagai orang Bali (meski sudah konversi internal ke Hindu Sampradaya India), logika dan etikanya mesti tetap berpegang pada pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, yang tiada lain desa/loka dresta Bali itu sendiri. Bagaimanapun juga aliran darah mereka adalah gen etnis Bali yang sejak dulu kala para leluhurnya dengan ajeg “nindihin” gumi Bali dengan agama Hindunya.

Persoalannya kini, tentunya akan memalukan dan memilukan jika di antara semeton Bali (Hindu) meski berbeda label saling “beradu”, dengan tanpa menyadari bahwa semuanya benar menurut Weda. Hanya dresta saja yang membedakannya.

Penulis, Dosen UNHI, Alumni Pascasarjana UHN IGB Sugriwa Denpasar

BAGIKAN

2 KOMENTAR

  1. Klo misalnya orang Bali Hindu tradisi di Bali bikin perguruan spiritual universal diluar hindu tradisi bali kemudian merangkul semua orang dari semua agama tapi perguruan spiritual tsb berdasarkan budaya bali dan menggunakan budaya bali. berarti kan secara definisi sama juga seperti “Sampradaya” nggih? tapi Sampradaya lokal Bali dan asli Bali. di Bali ada kok aliran kepercayaan yang seperti itu, tapi asli lokal Bali dan berbudaya Bali.

    Hindu di India dan Nusantara masa lalu itu sama seperti hindu di bali zaman 9 sekte dulu yang sama2 sembahyang menggunakan linggam siwa dan arca-arca, namun upacara yadnya-nya berdasarkan budaya masing-masing, klo di India berbudaya India, klo di Jawa berbudaya Jawa dan klo di Bali berbudaya Bali. logikanya, di Bali dan di Jawa ada peninggalan lingga, candi dan arca-arca ganesha dan buat apa semua peninggalan-peninggalan itu dibuat klo bukan waktu zaman itu dipakai sembahyang. bener ga? secara logika ya seperti itu. namun bedanya, hindu tradisi India tetap terdiri dari banyak sekte tapi toleransi internal dan external agama tetap dijaga dengan baik, sedangkan di bali di-sinkritisme ke siwa siddhanta semua. sebenarnya tidak ada yang namanya penyatuan sekte di bali, tapi yang ada hanya konversi massal ke siwa siddhanta karena menyadari siwa siddhanta semuanya adalah jalan tengah, tapi konversi massal itu sambil membawa sebagian tradisi dari sekte-sekte sebelumnya. ya gimana bisa menyatukan antar sekte? yang satu memuliakan dewa siwa, dan yang satunya lagi memuliakan dewa wisnu, dsb dan cara juga berbeda tapi intisari ajaran sama, ya gimana bisa bersatu? ga bisa!!! sama seperti menganut hindu tradisi Bali tapi sambil menganut hare krishna, ya gimana bisa disatukan, fokusnya ke yang mana? ga bisa kan?
    Maka dari itu, ga pernah ada yang namanya penyatuan 9 sekte di bali tapi yang ada hanya konversi massal ke siwa siddhanta semua.

    Budaya Bali pun juga melalui proses yang panjang lewat berbagai kolaborasi, sebagian besar adalah pengaruh budaya asia timur dan sebagian lagi budaya jawa kuno, dan hanya sedikit pengaruh budaya india, bahkan pengaruh budaya India hampir tidak terlihat, mungkin pengaruh budaya india juga ada di nusantara termasuk di bali tapi pengaruh budaya india kuno(budaya india kuo beda dengan india modern ya, karena budaya india kuno ini mungkin identik dengan tradisi weda yang kemudian dikolaborasikan dan dikembangkan lagi sesuai budaya lokal setempat). seperti misalnya di bali budaya baju kebaya, baju kebaya itu adalah pengaruh budaya dari jawa, sedangkan aslinya kita di bali memang tidak ada baju kebaya/tidak pakai baju. sehingga baju kebaya itupun sebenarnya budaya baru dari jawa, begitu juga sekarang ada kok di bali yang kembangkan budaya baju kebaya untuk nikah tapi baju kebayanya kolaborasi dengan budaya baju kimono jepang.
    Sehingga budaya adalah proses yang panjang di bali, dan pengaruh budaya india nyaris tidak terlihat dalam budaya kita di bali

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *