Sunitha Devi, S.E., M.Si., Ak. (BP/Istimewa)

Oleh Sunitha Devi, S.E., M.Si., Ak.

“Bali meredup tanpa gemerlap pariwisata,” tak heran situasi pilu ini sangat menggambarkan kondisi Bali mulai awal 2020 sampai saat ini menginjak akhir 2022. Penurunan pendapatan bahkan PHK menyelimuti hari-hari sebagian besar masyarakat Bali ketika pariwisata
seolah-olah berhenti bergerak, karena 50,84% sektor pariwisata menguasai aktivitas ekonomi di Bali.

Para pekerja sektor pariwisata terpaksa diberhentikan karena perusahaan tidak memiliki pemasukan dana untuk membayar gaji, sebagai dampaknya para pedagang yang juga mengandalkan keramaian pariwisata juga mengalami
penurunan penghasilan dan harus banting setir untuk memperoleh celah peluang pendapatan lainnya. Memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari sudah sangat sulit, apalagi memenuhi kewajiban lainnya seperti pembayaran kredit usaha yang pastinya dimiliki oleh sebagian besar pengusaha.

Tak hanya masyarakat, sektor perbankan juga akan terancam likuiditasnya apabila situasi ini tidak segera mendapat perhatian bersama. Jika terjadi kegagalan dalam sektor perbankan, dapat mengakibatkan ketidakstabilan keuangan dan semakin mengganggu perekonomian ditengah situasi ekonomi yang “pelik” ini.

Situasi ini tak lantaran membuat pemerintah berdiam diri, langkah awal yang tepat telah dilakukan untuk melakukan penyelamatan kondisi ekonomi, salah satunya adalah pemberlakuan kebijakan restrukturisasi kredit. Kebijakan
restrukturisasi kredit yang tertuang melalui POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) sangat dirasakan manfaatnya oleh debitur bank khususnya pelaku usaha yang terdampak baik secara langsung atau tidak langsung dari Pandemi Covid-19.

Baca juga:  Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah dan Kereta Api

Berbagai pilihan restrukturisasi kredit bank seperti penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu angsuran, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit, konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara, sampai dengan holiday payment sangat membantu para debitur
untuk bernapas dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya.

Secara keseluruhan total NPL di Bali berada pada posisi 4,07 persen atau masih di bawah 5 persen, sementara LAR berada pada posisi 39,92 persen. Dibandingkan dengan kuartal I/2022, NPL berada di level 4,18 persen dan LAR di level 43,29 persen.

Pergerakan penurunan angka rasio ini menandakan bahwa kebijakan restrukturisasi kredit dapat menjadi gairah pertahanan kondisi keuangan tak hanya bagi perbankan tetapi juga bagi debitur. Di tengah kelegaan tersebut, Bali kini dilanda dilema pertanyaan, “Siapkah Bali mengakhiri kebijakan restrukturisasi kredit?” dengan berakhirnya POJK 17 tahun 2021 pada bulan Maret 2023.

Baca juga:  Menuju Desa Adat Berdikari Pelaporan

Ketika kebijakan stimulus melalui restrukturisasi kredit perbankan terhadap sektor pariwisata dan pendukungnya ini berakhir dan tidak diperpanjang, beban para debitur bank di Bali akan semakin berat, karena mereka yang baru bangkit dan baru memulai kembali usahanya justru tidak bisa bertahan lama karena beban hutang yang besar
jika dibandingkan dengan pendapatan saat ini.

Jika mengacu dari data dan karakteristik debitur di Bali yang sebagian besar (50,84%) bertumpu pada sektor pariwisata dan penunjang pariwisata, saat ini mulai mengalami pergerakan kunjungan wisata namun masih jauh dari kondisi normal seperti halnya sebelum adanya Pandemi COVID-19. Lambatnya pertumbuhan dan recovery sektor pariwisata banyak disebabkan oleh terjadinya krisis dan resesi global dimana daya beli masyarakat dunia sangat menurun sehingga kemampuan untuk melakukan kegiatan wisata ke luar negeri pun masih lemah.

Baca juga:  Bersainglah dengan Sriwijaya dan Majapahit

Butuh waktu 2 sampai 3 tahun lagi untuk bisa mengembalikan kondisi pariwisata bergeliat seperti sedia kala. Untuk membantu pemulihan pariwisata di Bali dan perekonomian Bali secara menyeluruh sangat jelas Bali masih sangat memerlukan “kebijakan khusus” terkait
stimulus perekonomian yang dapat saja berbeda dengan daerah lainnya yang bukan menjadikan sektor pariwisata sebagai tumpuan utama dalam perekonomian daerah.

Terlebih saat ini kondisi ekonomi global masih penuh ketidakpastian. Oleh karena itu untuk mendukung pemulihan ekonomi, khususnya di Bali dan juga berjaga-jaga menghadapi ketidakpastian global, sebaiknya kelonggaran restrukturisasi kredit untuk Bali dapat diperpanjang hingga 2024 atau 2025.

Perpanjangan restrukturisasi kredit yang akan berakhir pada Maret 2023 juga akan menguntungkan bagi perekonomian nasional karena memberikan ruang
pemulihan yang lebih panjang. Ketika perekonomian sudah benar-benar pulih, dan ancaman krisis dari ketidakpastian global sudah mereda, tidak ada kebutuhan untuk memperpanjang lagi kelonggaran restrukturisasi kredit.

Penulis, Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Akuntansi, FEB Universitas Udayana

BAGIKAN