Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Kelangkaan ketersediaan vaksin COVID-19 dan minimnya kemampuan pelacakan dapat membahayakan Indonesia menghadapi varian XBB. Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Universitas Griffith University Australia, Dicky Budiman menyatakan hal itu, dikutip dari Kantor Berita Antara, Senin (24/10)

“Jika kita ingin mengakhiri dari masa kritis ini, salah satu hal yang sangat signifikan adalah modal imunitas. Dari imunisasi ini makanya ini harus segera dikejar,” kata Dicky.

Menanggapi masuknya varian XBB di Indonesia, Dicky menyatakan ketika varian baru itu sudah masuk ke negara tetangga seperti Singapura ataupun Australia, maka jarak waktu potensi XBB masuk ke Indonesia sebenarnya tidak akan lebih dari satu minggu.

Pada Jumat (21/10), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa varian XBB telah masuk ke Indonesia dan sedang dilakukan pemantauan lebih lanjut. Menurut Dicky, hal tersebut merupakan wujud kemampuan deteksi varian dan sub-varian COVID-19 yang masih perlu ditingkatkan.

Baca juga:  Bahas Isu Kesehatan Global di G20, Menlu Amerika Serikat Puji Indonesia

Apalagi, katanya, Indonesia masih mengalami keterbatasan melakukan surveilans menggunakan genomic sequencing. Sedangkan kecepatan XBB untuk menginfeksi seseorang bisa jauh melebihi varian Delta, atau sub-varian BA.1 dan BA.2, yakni setidaknya lebih cepat dua sampai tiga kali lipat.

Varian XBB juga memiliki kemungkinan dapat mempercepat turunnya efikasi antibodi masyarakat. Akibatnya, antibodi monoklonal atau antibodi yang diproduksi di laboratorium yang bekerja dengan cara meniru kemampuan sistem kekebalan tubuh manusia untuk melawan infeksi virus jadi tidak efektif.

“Keterbatasan surveilans kita apalagi dengan genomic surveilans yang menurun, ini tentu memiliki konsekuensi bahwa artinya kasus-kasus yang terjadi di masyarakat bisa meningkat,” katanya.

Baca juga:  Dua Dilaporkan Meninggal Usai Vaksinasi dengan Vaksin Moderna Tercemar di Jepang

Menurut Dicky, rendahnya kemampuan pelacakan juga menyebabkan potensi breakthrough infection atau orang yang sudah divaksinasi namun tertular kembali menjadi semakin banyak, bahkan bisa mencapai 50 persen dari kasus yang berhasil ditemukan. “Jika masyarakat punya modal imunitas yang memadai setidaknya dengan tiga dosis, kita optimistis tidak akan terlalu terdampak dalam aspek layanan kesehatan dari keparahan dan kematian,” ujar dia.

Kemudian terkait kelangkaan vaksin di sejumlah daerah, Dicky menekankan kondisi itu akan menempatkan masyarakat ke dalam situasi rawan karena kemampuan meningkatkan cakupan imunitas terhambat dan mempersulit Indonesia terbebas dari masa kritis. “Ini harus segera dikejar dan diambil solusinya, misalnya dengan Indovac yang sudah dapat EUA segera dirilis atau diproduksi karena kebutuhannya terjadi saat ini,” ucapnya.

Baca juga:  WHO: Varian Omicron Dapat Menginfeksi Penerima Vaksin

Dengan hadirnya XBB, Dicky berharap kebijakan isolasi dan karantina dapat diperketat kembali. Pemerintah juga diharapkan dapat mengajak masyarakat untuk membangun perilaku hidup adaptif, supaya masyarakat paham kondisi dunia yang semakin rawan dan menuntut manusia untuk hidup lebih bersih dan sehat. Salah satunya dengan memperbaiki kualitas udara dan air.

Selain mutasi virus, ia turut mengingatkan karena jumlah populasi penduduk yang besar, dengan banyak kelompok rawan di dalamnya, Indonesia harus lebih waspada atas masuknya berbagai penyakit misterius yang mengancam kesehatan masyarakat. “Prinsip kebijakan yang pemerintah kita bisa dan harus lakukan adalah mencegah orang agar tidak terinfeksi. Dengan cara temukan kasus-kasus sesegera, secepat dan sebanyak mungkin (serta pertahankan imunitas),” ucap Dicky yang juga Epidemiolog itu. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN