Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Pada peringatan 55 tahun ASEAN (dibentuk pada 8 Agustus 1967) terasa istimewa dan strategis bagi Indonesia. Presidensi G20 yang dipegang oleh Indonesia, menjadikan Indonesia mewakili ASEAN dalam kepemimpinan dunia. Perjalanan misi perdamaian Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia menjadi momentum untuk menggali role model dan profil manusia Indonesia seutuhnya. Seperti sikap Presiden Jokowi, inilah yang dicita-citakan masyarakat Indonesia, dan menjadi salah satu elemen kunci dalam country branding “Wonderful Indonesia”.

Wonderful people of Indonesia menuntut masyarakat Indonesia yang ‘memeluk’ kemajemukan dan kebhinekaan, berani membawa perdamaian dan persatuan. Tidak hanya ‘memeluk’, masyarakat Indonesia yang sepenuhnya memperjuangkan perbedaan dan keragaman sebagai kebutuhan hidup, anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang menghendaki agar seluruh makhluk-Nya bersatu, saling mencintai dan memuliakan kehidupan. Presiden Jokowi sebagai pemimpin sekaligus simbol dan wakil bangsa Indonesia, dan kali ini sebagai Ketua Kepresidenan G20, telah menjadi miniatur universalitas kehidupan, yang memiliki satu nilai yang dijunjung tinggi: kemanusiaan, keadilan, kasih sayang, persatuan, perdamaian.

Kehadiran langsung Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan tindakan proaktif untuk mengundang Presiden Zelensky dan Presiden Putin untuk datang ke KTT G20 di Bali tahun ini. Pada penutupan sekaligus estafet kepemimpinan (Presidensi) G20 yang diserahterimakan dari Italia kepada Indonesia, pada Minggu (31/10/2021), Presiden Jokowi menyampaikan, “Kami mengundang Yang Mulia untuk datang ke Indonesia, kami menghibur Yang Mulia di hamparan pantai Bali yang indah, yang menginspirasi ide-ide inovatif untuk produktivitas G20 ke depan.”

Baca juga:  Digelar Pertemuan Tingkat Tinggi Asean-Australia I di Sydney

Kini, diplomasi untuk perdamaian dunia ditunggu warga dunia dari KTT G20 di Bali. Tantangannya bukan lagi untuk meredakan konflik, tetapi menghentikan perang dan menciptakan perdamaian dunia. Semoga KTT G20 membawa Indonesia sebagai tuan rumah yang terhormat dan sukses menyelenggarakan event berkelas internasional yang bermanfaat bagi dunia. Semangat dan amalan hidup inilah yang membuat negara Indonesia bertahan dan berkembang melintasi peradaban. Kepentingan universal menyatukan negara-negara di dunia untuk memiliki bahasa yang sama seperti yang sangat umum di Indonesia: Bhineka Tunggal Ika.

Country branding yang dibuat oleh pemerintah dan pemasar berangkat dari atribut kunci dan janji merek yang telah dideklarasikan. Alasan logis dilakukannya country branding adalah untuk mengenalkan Indonesia lebih dalam, meningkatkan citra, menarik wisatawan domestik dan mancanegara, menarik investor untuk berinvestasi dan meningkatkan perdagangan. Branding yang ringkas, memikat, atau menarik, harus mencerminkan keasliannya. Merek dagang pariwisata Indonesia pada dasarnya adalah frasa singkat yang memberikan gambaran atau informasi tentang suatu merek destinasi pariwisata. Jadi, branding dapat memberikan gambaran kepada pemasar tentang esensi suatu merek dan kepada konsumen (wisatawan) dapat memberikan informasi singkat yang membuat suatu merek menjadi unik.

Baca juga:  Program Komunitas Petani

Dimensi country branding itu sendiri membutuhkan dua hal. Selain menjadi pembeda yang khas dan unggul antara destinasi satu negara dengan destinasi negara lain (externally different), juga harus menginspirasi khalayak dalam negeri untuk mempraktekkan hidup sesuai dengan filosofi branding itu sendiri (internally inspiring). Dengan demikian, branding bisa menjadi pedang bermata dua ketika hanya menyampaikan informasi palsu tentang situasi sebenarnya.

“Wonderful People”

Kinerja branding diharapkan mampu menarik wisatawan dari berbagai negara. Merek pariwisata “Wonderful Indonesia”, yang dicirikan oleh atribut wonderful people, wonderful culture, wonderful nature, wonderful food dan wonderful investment, harus mampu memberikan inspirasi, motivasi, dan pengaruh bagi berbagai kalangan untuk untuk mengambil keputusan berwisata atau berinvestasi di Indonesia. Kelima hal ini memang tidak bisa dipungkiri menjadi keunggulan Indonesia, namun persoalannya bagaimana mengemas keunggulan-keunggulan tersebut sehingga menjadi keunggulan kompetitif dan menjadikan pariwisata Indonesia unggul.

Sebagai pemimpin Asia pertama yang datang ke zona perang Ukraina dan Rusia, Presiden Jokowi juga mewakili masyarakat, Asia, khususnya Asia Tenggara. Slogan Southeast Asia: Feel Warmth merupakan upaya pemasaran kolaboratif negara-negara anggota ASEAN untuk menjadikan ASEAN sebagai destinasi pariwisata dengan rencana strategis baru yang diterapkan sebelum pandemi. Salah satu agenda pembicaraan bilateral Presiden Jokowi dengan Presiden Ukraina dan Rusia tentang ketahanan pangan, merupakan komitmen aksi nyata yang dirumuskan pada KTT Asean ke-18 di Jakarta Convention Center, bahkan melampaui batas-batas kawasan Asean, yang menghasilkan 10 keputusan strategis. Hal ini termasuk ketahanan pangan dan ketahanan energi, manajemen konflik dan resolusi konflik.

Baca juga:  Masih Banyak Pekerjaan pada Debat TV

Cita-cita memulihkan keamanan dan menciptakan perdamaian akan mendorong mobilitas masyarakat. Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) telah meluncurkan kampanye “Satu Miliar Turis, Satu Miliar Peluang”. Melalui program tersebut, UNWTO dalam kapasitasnya sebagai organisasi pariwisata dunia telah berhasil dan peka dalam memaknai kerinduan umat manusia bahwa lalu lintas manusia di muka bumi ini demi pariwisata merupakan sarana untuk membangun pemahaman, mendorong inklusi sosial dan meningkatkan standar kelayakan hidup.

Perjalanan Presiden Jokowi ke zona perang Ukraina dengan misi perdamaian memberikan energi positif bagi penyebaran berita positif Indonesia ke dunia. Dalam ranah strategis, meningkatkan pamor dan reputasi Indonesia sebagai negara nonblok yang menginginkan perdamaian dunia dan persatuan antar bangsa di dunia. Hanya gencatan senjata dan perdamaian yang akan memulihkan kehidupan. Selamat HUT ASEAN ke-55 tahun.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN