Dewa Rai Darmadi. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kebisingan ekstrem di Kuta Utara, khususnya kawasan Canggu menuai protes dan petisi. Kepala Satpol PP Bali, Dewa Rai Darmadi menegaskan tuntutan petisi tersebut terlalu berlebihan.

“Masa pemerintah diminta bertindak tegas, menutup, cabut izin dan sebagainya. Tidak segampang itu. Semua ada tahapan dan prosedurnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan petisi itu berlebihan,” tandasnya.

Menurutnya, petisi yang dilakukan tersebut seakan-akan menempatkan Bali dalam situasi yang gawat. Seolah-olah ancaman Bali akan hancur, budayanya akan rusak karena kebisingan suara.

Ia juga sangsi jika suara musik menggetarkan kaca rumah tinggal. Sebab, Setelah ditelusuri tidak ada permukiman penduduk di seputar tempat hiburan malam di Canggu. Dengan kata lain, tidak ada klub malam yang berada di tengah pemukiman penduduk.

“Dalam masa pemulihan dari keterpurukan ekonomi Bali karena dampak COVID-19 saat ini, tentu harus kita sikapi dengan bijak, sehingga predikat Bali sebagai destinasi wisata dunia tetap bisa dipertahankan,” ujarnya.

Ia mengatakan diperlukan membangun kembali komitmen semua pihak, termasuk komponen pariwisata dengan segala macam usaha di bidang sarana prasarana, akomodasi pariwisata dan penunjangnya. Oleh karenanya Satpol PP mengambil inisiasi dengan cepat untuk mengadakan rapat koordinasi melibatkan pihak-pihak terkait di tingkat provinsi dan Kabupaten Badung dalam rangka menyamakan presepsi sesuai ketentuan aturan yang ada berupa Pergub 16 Tahun 2016. “Ketentuan ini yang harus dipahami oleh kita semua,” tegasnya.

Baca juga:  Catat, Ini Jadwal Pelabuhan Gilimanuk Tutup Saat Nyepi

Dewa Darmadi memahami, selama dua tahun lebih Bali dan Canggu itu sepi. Penduduk Canggu dan sekitarnya sudah terbiasa nyaman. Padahal sudah sekitar 15 tahun lalu karakter destinasi wisata Canggu memang identik dengan tempat hiburan malam.

Setelah dua tahun sepi, kemudian bangkit kembali, mulai ramai lagi, maka orang terganggu. “Kita tidak mau gegabah. Kita harus ingat. Bali ini sebentar lagi akan ada KTT G-20. Banyak event besar terjadi. Pariwisata mulai bangkit,” tandasnya.

Dikatakan, setelah para pihak sudah menyamakan persepsi, langkah berikutnya adalah melakukan sosialisasi kepada pengusaha atau pelaku pariwisata. Ia menegaskan, jika para pihak tersebut tidak dipanggil melainkan diundang untuk mendapatkan sosialisasi dan edukasi.

Pada kesempatan tersebut ia mengakui tidak mengundang para pengusaha pariwisata sebab diduga kuat para pelaku ini belum paham soal syarat desibel suara ketika malam hari. Ada pun materi yang akan disosialisasi adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara.

Baca juga:  Gek Diah 3G, Bayu Kawe, Yong Sagita, Dek Ulik, dan MKP Mersi Siap Guncang FTF 2017

Di pasal 3 dinyatakan bahwa perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara. PP No. 41 Tahun 1999 ini secara operasional termaktub dalam Pergub Bali No. 16 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup.

“Ketika isu itu berkembang, tim kami sudah turun. Memang diakui bahwa desibel suara dari beberapa tempat hiburan malam di wilayah Canggu dan sekitarnya melebihi ambang batas atas. Syaratnya di atas jam 22.00 WITA, desibel suara maksimal 70. Sementara faktanya sampai 80 desibel. Seharusnya semakin malam suara harus semakin kecil,” paparnya.

Namun, ia mengaku tidak bisa serta merta menindak, apalagi menutup, segel, cabut izin seperti yang dituntut dalam petisi. “Karena kewenangan itu ada di provinsi dan pengusaha belum tahu, maka saat inilah kami sosialisasi, kita beri edukasi dan pembinaan. Saya optimis mereka pasti taat azas,” tegasnya.

Baca juga:  Cemburu, Indikasi Motif Perusakan Mobil Suarningsih

Hasil rapat koordinasi tersebut akhirnya disepakati jika musik yang outdoor atau beach club ditutup pukul 01.00 WITA. Namun yang ditutup hanya suara musiknya saja.

Sementara aktivitas lainnya dipersilahkan dilanjutkan tanpa suara musik sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan.

Hal ini juga dijelaskan oleh anggota Kelompok Ahli Bidang Pembangunan Provinsi Bali, Cipto Aji Gunawan. Menurutnya, selama ini memang belum diatur soal aturan musik di outdoor, sehingga terjadi kekosongan aturan untuk bisnis hiburan malam yang outdoor.

Sementara untuk yang indoor diberikan batas waktu hingga pukul 03.00 WITA dini hari. “Pariwisata itu apa pun produknya harus memihak kepada masyarakat. Jika masyarakat Canggu dan sekitarnya merasa tidak terganggu, maka sesungguhnya tidak menjadi masalah. Kalau pun merasa terganggu maka kita harus cek dimana batas toleransinya, dimana dampaknya. Tetapi kalau masyarakat yang ada menikmati maka sejujurnya tidak menjadi masalah,” pungkasnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN