IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh IGK Manila

Peringatan Hari Kemerdekaan ke-77 ini istimewa bagi Indonesia dan lebih istimewa lagi bagi Bali. Beberapa
bulan setelah peringatan proklamasi, jika tak ada aral melintang, pada 15–16 November 2022, akan diadakan Group of Twenty Summit atau 2022 G20 Bali
Summit.

Indonesia sendiri saat ini menjabat posisi pimpinan dalam G20 sejak 2021. Sesuai dengan motto kepulihan dan kebangkitan dari pandemi Covid-19, motto pertemuan puncak 20 negara tersebut adalah Recover Together, Recover Stronger atau Pulih Bersama, Bangkit Perkasa. Ini tentu sesuai dengan tuntutan sekaligus fakta bahwa terdapat interdependensi negara satu sama lain, bahwa pulih dan bangkit tak mungkin sendiri.

Khusus bagi Bali, ini tentu saja anugerah berikutnya dari Yang Maha Kuasa. Dalam bahasa yang lebih ekonomis-politis, ini adalah kesempatan untuk pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat. Tak semua daerah dapat kesempatan ini.

Pariwisata yang luluh-lantak di masa pandemi,
misalnya, harus memaksimalkan momentum ini.

Baca juga:  Mewujudkan Guru Penggerak

Pranata Merdeka

Menjadi tuan rumah event besar tentu sudah
menjadi hal biasa bagi Bali. Dari waktu ke waktu,
internasionalisasi pariwisata budaya dan alam
Bali telah melahirkan antusiasme berkunjung
yang besar. Bagi para wisatawan, Bali diandaikan bak surga dunia, ketika bagi para pemimpin dunia ia adalah magnet yang menjadi inspirasi tersendiri, yang selain merepresentasikan alam dan tradisi juga kosmopolitanisme dalam bentuk yang klasik.

Posisi penting yang ditempati Bali tersebut di Indonesia dan dalam percaturan dunia bukan karena rekayasa menggunakan gimmick dan sebagainya. Budaya yang unik dan kaya adalah satu hal, di samping anugerah alam.

Namun tak kalah pentingnya adalah bahwa berkunjung dan berwisata di Bali terasa membebaskan atau memerdekakan, yang dimungkinkan oleh tradisi dan semangat kosmopolitanisme. Aspek ‘kemerdekaan’ ini oleh karena itu harus dipertahankan.

Di dalamnya melekat unsur keamanan, kenyamanan, relieving, kediterimaan, inklusif dan seterusnya. Budaya dan orang Bali tak ‘berisik’ soal privasi para wisatawan—pakaian, makanan atau minuman. Budaya dan agama mengikat pemeluknya, yang juga bisa jadi taat, kurang taat atau bahkan beragaman simbolik.

Baca juga:  Kompleksitas dan Eksistensi Perguruan Tinggi

Akan tetapi secara sosio-kultural terdapat satu bahasa yang sama-sama dimengerti. Ini yang saya sebut sebagai sebagai “pranata merdeka,” perangkat tata sosio-kultural orang Bali. Dengan segenap upaya harus dicegah iktikad atau usaha apa pun yang kiranya akan membuat Bali menjadi terlihat atau terdengar “seram,” misalnya karena isme-isme yang sempit. Berkunjung ke Bali, bagi siapapun, harus memberi impresi yang membebaskan!

Merah Putih

Tradisi kotak-kotak hitam putih Bali, yang
direpresentasikan sebagai saput poleng, adalah
lambang Rwa Bhineda, keseimbangan alam. Namun dengan keberadaannya dalam konteks negara Republik Indonesia, Bali dengan sendirinya juga merepresentasi diri dengan perpaduan warna merah-putih.

Bukan hanya simbolik tentu saja. Ketika motto nasional saat ini adalah “pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat”, kedua simbol dengan tiga warna ini bisa menjadi pedoman batin kita. Hitam-putih dan merah-putih.

Baca juga:  Spirit Nyepi dan Keuangan Berkelanjutan

Sebagai satu kesatuan kultural, keseimbangan alam telah berabad-abad untuk tolok-ukur kehidupan kultural, sosial, dan ekonomi Bali. Dengan tradisi ekonomi agraris, misalnya, Bali telah berhasil membangun satu sistem sustainability, di mana pemanfataan alam harus seiring dengan pemeliharaannya.

Untuk menegakkan hitam-putih, kebajikan yang berdasar keseimbangan, diperlukan merah: keberanian, semangat dan kerelaan berkorban. Namun berani harus karena benar, yakni ikhtiar untuk menegakkan kebajikan dengan kejujuran dan ketulusan: putih.

Singkat kata, cita-cita nasional bisa pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat akan menjadi lebih mudah bagi Bali. Terutama karena modal atau aset alamiah dan kultural yang sudah melekat serta dengan adanya
momentum-momentum yang silih-berganti ‘mengunjungi’ Bali. Kita juga bisa sebut itu semua sebagai kemewahan-kemewahan yang belum dimiliki oleh wilayah Indonesia lain.

Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) dan Anggota merangkap Sekretaris Majelis Tinggi Partai Nasdem

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *