Mardani H. Maming. (BP/Istimewa)

JAKARTA, BALIPOST.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerbitkan surat pencegahan ke luar negeri untuk Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI, Mardani H. Maming (41). Tak hanya Maming yang juga menjabat sebagai Bendahara Umum PBNU itu yang tak diizinkan ke LN selama 6 bulan, adiknya Rois Sunandar Maming (38) juga dicekal.

Menurut Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Senin (20/6), pencekalan terkait dugaan korupsi yang sedang ditangani KPK. Pencekalan mulai 16 Juni hingga 16 Desember 2022. “Berdasarkan informasi yang kami terima, benar, KPK telah mengajukan permohonan cegah ke pihak imigrasi terhadap dua orang terkait dugaan korupsi yang sedang kami lakukan proses penyidikan,” kata Ali Fikri.

Dikutip dari rilisnya, Ali Fikri mengatakan KPK masih terus mengumpulkan dan melengkapi alat bukti dalam kegiatan penyidikan dimaksud. “Setiap perkembangan akan selalu kami sampaikan,” tambahnya.

Informasi pencegahan terhadap Mardani dan Rois, disampaikan pihak Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi. “Betul (dicegah), berlaku sejak 16 Juni 2022 sampai dengan 16 Desember 2022,” kata Subkoordinator Humas Ditjen Imigrasi Achmad Nursaleh, di Jakarta, Senin (20/6/2022).

Baca juga:  Dilanjutkan, Pembahasan Ranperda Atraksi Budaya Tradisional Bali

Nursaleh bahkan menegaskan bahwa dalam surat permohonan pencekalan KPK itu, Mardani disebut berstatus tersangka. Surat pencegahan yang dimaksud Achmad Nursaleh itu bernomor R-1334 dikeluarkan KPK pada Kamis 16 Juni ditujukan kepada Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kemenkumham RI.

Pada surat permohonan larangan bepergian ke luar negeri untuk Mardani dan Rois itu, secara tegas KPK menyebut sedang melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi terhadap tersangka Mardani H Maming terkait pemberian IUP di Kabupaten Tanah Bumbu. Mardani dicekal dalam kapasitasnya sebagai Bupati Tanah Bumbu Kalsel periode 2010-2018, sedangkan Rois Sunandar sebagai Direktur Batulicin Enam Sembilan Pelabuhan.

Pada Kamis (2/6), KPK sempat meminta keterangan Mardani dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi. Usai dimintai keterangan, Mardani mengaku memberikan informasi terkait permasalahannya dengan pengusaha Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam.

“Saya hadir di sini sebagai pemeriksaan pemberi informasi penyelidikan, tetapi intinya saya hadir di sini, ini permasalahan saya dengan Haji Syamsuddin atau Haji Isam pemilik Jhonlin Group,” kata Mardani saat itu.

Baca juga:  Pascadiamankan, Bule Rusia Tinggal di Taman Bandara akan Dideportasi

Nama Mardani Maming sempat disebut dalam perkara dugaan korupsi peralihan izin usaha pertambangan (IUP) di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, yang menjerat mantan kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo. Dwidjono kini berstatus sebagai terdakwa dan perkara tersebut masih berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin.

Mardani membantah dirinya terlibat dalam perkara tersebut saat dia menjabat sebagai bupati Tanah Bumbu.

Kuasa hukum Mardani, Irfan Adham, dalam keterangannya Senin (11/4), mengatakan pemberitaan sejumlah media yang menyebut kliennya terlibat dalam kasus yang terjadi 10 tahun lalu itu tidak benar dan tidak berdasarkan pada fakta hukum.

“Perlu kami sampaikan bahwa hubungan Bapak Mardani dan Bapak Dwidjono, selaku terdakwa in casu adalah hubungan struktural bupati dan kepala dinas, sehingga bahasa ‘memerintahkan’ yang dikutip media dari kuasa hukum Bapak Dwidjono harus dimaknai sebagai bahasa administrasi yang wajib dilakukan oleh seorang kepala dinas jika terdapat adanya permohonan oleh masyarakat, termasuk pula permohonan atas IUP PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN),” jelas Irfan dikutip dari Kantor Berita Antara.

Baca juga:  Masa Penahanan Dua Tersangka Korupsi BPPD Sidoarjo Diperpanjang

Dalam suratnya kepada KPK, Dwidjono menyebut Mardani merupakan pihak yang memerintahkan dirinya sebagai bawahan untuk pengalihan IUP tersebut.

Lebih lanjut, Irfan mengatakan kewajiban melaksanakan permohonan peralihan IUP PT PCN merupakan perintah undang-undang, sehingga ia menyatakan sudah menjadi kewajiban bagi bupati dan kepala dinas saat itu untuk menindaklanjuti setiap permohonan dan surat yang masuk.

“Kalau pun dinilai ada kesalahan pada proses administrasi pelimpahan IUP, hal tersebut adalah tindakan pejabat administrasi negara yang batu ujinya ada pada peradilan administrasi negara dan/atau Pengadilan Tata Usaha Negara,” ujarnya.

Irfan menyebutkan pernyataan kuasa hukum Dwidjono merupakan asumsi yang tidak memiliki basis fakta dan tidak berdasar hukum. Terlebih lagi, perkara Dwidjono masih dalam status pemeriksaan dan masih berjalan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin. (kmb/balipost)

BAGIKAN