Ketut Netra. (BP/Istimewa)

Oleh Ketut Netra, S.H., M.Kn.

Unsur-unsur untuk terjadinya pewarisan adalah: ada pewaris, ahli waris, harta warisan dan pewaris telah meninggal. Proses pewarisan belum terjadi jika belum memenuhi salah satu unsur tersebut.

Apalagi jika calon pewaris belum meninggal. Suatu pernyataan yang sangat aneh bila disebutkan, bahwa ketika seorang anak perempuan Bali pergi untuk menikah, tanpa diberi warisan oleh orangtuanya. Mustahil pewarisan terjadi, jika ayahnya belum
meninggal.

Banyak opini di masyarakat, wanita Bali menurut hukum adat Bali tidak mendapat warisan. Akibat adanya opini demikian, tidak jarang terjadi rasa iba di kalangan wanita, terutama wanita luar Bali. Pendapat mereka yang di luar Bali wajar saja.

Tetapi masyarakat Bali sekarang tetap eksis terhadap pelaksanaan hukum adat terutama terhadap hukum waris. Bukan semata-mata karena ingin melestarikan
hukum adat Bali, dan karena rasa hormat terhadap warisan leluhur.

Baca juga:  Pandemi dan Pelajaran dari Puputan Margarana

Pelaksanaan hukum adat waris di Bali yang demikian itu sebagai konsekuensi logis dari sistem kekeluargaan patrilineal di Bali. Dalam sistem kekeluargaan seperti ini, anak perempuan yang kawin keluar memang tidak dapat warisan. Secara adat bukan berarti hukum adat yang berlaku di Bali tidak adil.

Yang namanya hukum yang telah berlaku umum turun-temurun dan telah diterima oleh masyarakat, sudah diterima sebagai hal yang adil. Hukum waris adat yang demikian terhadap wanita Bali, bukan berarti tidak ada solusi, yang diberikan oleh sistem hukumnya sendiri.

Sebagai contoh bagi seorang ayah yang mempunyai harta tidak akan membiarkan anak perempuannya. Jalan yang ditempuh adalah, seorang ayah akan
memberikan anaknya bekal ketika pergi berumah tangga.

Harta tersebut adalah harta bawaan, yang di Bali disebut tatadan. Di samping itu, masih dimungkinkan
adanya pilihan hukum (choice of law).

Baca juga:  Membudayakan Komunikasi Mengawal Desa Adat

Dalam hal ini ada 3 pilihan hukum yaitu taat terhadap hukum adat, mengikuti hukum nasional atau memilih Putusan Majelis Utama Desa Pekraman Bali
Nomor : 1/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010. Yang pada pokoknya memberikan harta warisan kepada wanita
Bali ½ bagian setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka.

Kalau menurut hukum nasional pewaris dapat memberikan hibah kepada anak perempuan atau membuat hibah wasiat sebelum ayahnya meninggal.
Sesuai denga azas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perdata, para pihak bebas membuat kontrak, asalkan tidak bertentangan dengan hukum.

Boleh warisan tidak dibagi atau dibagi sama, atau
melakukan pilihan hukum. Kebebasan yang
dimaksud di sini adalah kebebasan para pihak. Para pihak dapat terdiri dari antara orangtua selaku pemberi harta dengan anak-anaknya. Maupun antara ahli waris selaku penerima harta warisan.

Azas kebebasan berkontrak tersebut dapat dijumpai dalam pasal 1320 KUHPerdata, dimana para pihak yang akan membuat perjanjian disyaratkan agar
memenuhi: 1. Adanya kesepakatan para pihak. 2. Kecakapan para pihak untuk melakukan perjanjian, artinya bahwa anak tersebut sudah dewasa. 3. Mengenai suatu hal tertentu, artinya objeknya harta, bahwa harta tersebut sudah benar-benar ada. 4.
Mengenai suatu kausa yang halal artinya apa yang disepakati itu adalah tidak dilalang oleh undang-undang.

Baca juga:  Hukum Adat Bali Tumbuh dan Berkembang dengan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi

Dengan demikian jika seorang ayah di Bali menghendaki warisan itu ada bagian tertentu diberikan kepada anak perempuannya, maka dia dapat menuangkan pada akte hibah yang dibuat di depan pejabat umum dalam hal ini notaris atau PPAT
kalau objeknya tanah. Demikian juga di antara para ahli waris bebas untuk menentukan sikapnya terhadap harta warisan. Apakah ada bagian tertentu untuk druwe tengah, atau bagian lainnya dibagi rata dan seterusnya.

Penulis, Pensiunan Jaksa

BAGIKAN