Dua saksi fakta dan satu ahli memberikan keterangan dalam kasus LPD Sunantaya. (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Jaksa dari Kejari Tabanan menghadirkan dua saksi fakta dan satu ahli dalam lanjutan sidang dugaan korupsi di LPD Adat Sunantaya, Penebel, Tabanan, Selasa (10/5). Duduk sebagai terdakwa dalam perkara ini adalah Ni Putu Eka Swandewi dan I Gede Wayan Sutarja.

Saksi fakta yang memberikan keterangan di hadapan majelis hakim pimpinan Heriyanti dengan hakim anggota Soebekti dan Nelson, di antaranya adalah I Gusti Nyoman Susila yang merupakan auditor madya di Inspektorat Kabupaten Tabanan. Saksi inilah yang membongkar temuan auditnya di persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar hingga membongkar bobrok pengelolaan keuangan LPD Sunantaya.

Susila menyampaikan bahwa salah satu tugas pokoknya adalah membantu penyidik dalam hal audit jika ditemukan adanya perbuatan melawan hukum. Mekanisme audit diawali dengan gelar kasus atau perkara.

Baca juga:  Denpasar Keluarkan Status Tanggap Darurat Bencana Kebakaran TPA Suwung

Dalam kesaksiannya untuk terdakwa Sutarja, disebutkan bahwa Sutarja pada 2006 diangkat sebagai Bendesa Adat Sunantaya. Dia sekaligus sebagai ketua pengawas atau panureksa di LPD Sunantaya. Sekitar tahun 2017, dia berhenti sebagai bendesa adat.

Ketika diaudit, saksi mengaku menemukan terdapat enam bukti pinjaman oleh terdakwa Sutarja. Empat pinjaman atas nama yang bersangkutan (Sutarja) dan dua atas nama desa adat. Selain itu juga ditemukan fakta lainnya, yakni pinjaman atas jaminan sertifikat yang di atasnya berdiri bangunan.

Dan fatalnya, pinjaman berikutnya masih menggunakan sertifikat jaminan pinjaman yang dipakai jaminan sebelumnya (jaminan yang sama). Mirisnya lagi, saksi Susila mengungkap adanya jaminan IPT (inventaris perabotan rumah tangga).

Baca juga:  Kejagung Tetapkan 3 Tersangka Korupsi Proyek BTS di BAKTI, Langsung Ditahan

Fakta lainnya, kata saksi, pinjaman terdakwa dengan bunga yang tidak sesuai ketentuan. Misalnya terdakwa meminjam dengan bunga 1,3 persen atau di bawah 2,75 persen, dan itu tidak sesuai ketentuan suku bunga LPD yakni 2,75 persen. Lanjut saksi, jika ada perbedaan bunga, itu disebut terjadi suatu penyimpangan.

Saksi di depan persidangan juga menyebut Sutarja tidak pernah melalukan pembayaran pokok maupun bunga pinjaman yang hingga tahun 2017 belum dilunasi.

Kesimpulan hasil audit, kata saksi, dari jumlah kerugian yang didapat, termasuk prosedur dan metodenya, saksi menemukan adanya kerugian keuangan negara yang dilakukan I Wayan Gede Sutarja, sebesar Rp 1,1 miliar. Itu didapat dapat dari pinjaman pokok Rp 435 juta ditambah bunga dari pinjaman pertama hingga ke enam.

Baca juga:  Aktivitas Ramai, Menara Pengawas akan Dibangun di 3 Pantai

Lanjut saksi, LPD adalah lembaga keuangan yang bergerak pada keuangan desa adat. LPD menghimpun dana masyarakat dan expsansi kembali dipinjamkan ke masyarakat, tentu dengan kewajiban membayar bunga. “Lembaga Perkreditan Desa bergerak dibidang profit. Sehingga di sini ada laba. Untuk bertumbuh dan berkembang, ada kontribusi untuk membangun desa adat dan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Intinya profit itu bersumber dari bunga itu,” tandas Susila. (Miasa/balipost)

BAGIKAN