Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Bumi yang kita tinggali saat ini bukan hanya semakin sesak, tetapi juga semakin panas. Adalah kewajiban kita bersama saat ini untuk berkontribusi secara lebih nyata — sekecil apa pun kontribusi itu — dalam upaya ikut menurunkan temperatur Bumi.

Menurut penelitian yang hasil￾nya dipublikasikan di di jurnal Frontiers in Forests and Global Change, kondisi Bumi yang kita huni dewasa ini sangat jauh berbeda
dari kondisi Bumi di masa 500 tahun yang silam. Para peneliti menaksir hanya sekitar 3 persen dari permukaan Bumi kita yang secara ekologis masih
utuh — dan masih menjadi tempat bagi berbagai
spesies asli serta tidak terganggu oleh aktivitas
manusia.

Ada banyak aktivitas kita selama ini, baik langsung maupun tidak langsung, yang merusak ekosistem Bumi. Semua komponen ekosistem, baik yang hidup (seperti hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme) serta yang tak hidup (misalnya, iklim, tanah, matahari, cuaca dan atmosfer) berperan sangat penting bagi semua aktivitas di Bumi dan ikut mempengaruhi kesehatan semua sistem di planet ini.

Setiap aktivitas yang mengganggu keseimbangan komponen-komponen ekosistem akan langsung berdampak pada ekosistem. Sejauh ini, faktor antropogenik menjadi yang paling dominan mempengaruhi keseimbangan ekosistem Bumi.
Sekadar ilustrasi, sejumlah aktivitas manusia, seperti pembabatan hutan dan penggunaan bahan bakar fosil, telah mengakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gases) di atmosfir dan juga dapat mendorong iklim mengalami perubahan mencolok.

Baca juga:  Hidup Berdamai dengan Krisis

Merujuk pada daftar yang dikeluarkan oleh The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), terdapat beberapa zat yang masuk ke dalam kategori gas rumah kaca. Di antaranya adalah dinitrogen oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), karbon doksida (CO2), dan metana (CH4). Selama lebih dari sepuluh ribu tahun ke belakang, jumlah gas rumah kaca di atmosfir sesungguhnya terbilang relatif stabil.

Akan tetapi, konsentrasinya kemudian mulai terus meningkat seiring dengan melonjaknya kebutuhan energi akibat proses industrialiasi, meningkatnya jumlah penduduk dan perubahan drastis dalam pola pemanfaatan tanah dan hunian. Sepanjang setengah abad terakhir, suhu rata-rata Bumi kita cenderung meningkat lebih cepat daripada yang diperkirakan.

Biang keladinya yaitu semakin menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer. Seperti kita ketahui, tatkala sinar matahari mencapai Bumi, sebagian energinya
diserap di permukaan Bumi dan dipancarkan kembali sebagai energi inframerah yang kita sebut panas.

Baca juga:  Sempat Ditarik, Kini DLH Bangli Kembali Letakkan Bak Sampah di Sejumlah Lokasi

Nah, energi panas ini kembali ke atmosfer di mana gas rumah kaca memerangkap energi ini dan mengirimkannya kembali ke semua penjuru Bumi.
Terjadinya peningkatan suhu Bumi kemudian mengubah iklim global. Dari sinilah muncul istilah perubahan iklim alias climate change, yang ditandai antara lain dengan munculnya gelombang panas
di lautan, kekeringan ekstrem, curah hujan yang
lebih tinggi, naiknya permukaan laut serta munculnya badai dahsyat.

Dengan hampir 60 persen penduduk Bumi tinggal di kawasan perkotaan saat ini — dan diprediksi akan menjadi 68 persen pada 2050 — kota menjadi salah satu generator besar emisi karbon. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kawasan perkotaan mengkonsumsi lebih dari dua pertiga energi dunia dan sekaligus menyumbang lebih dari 70 persen emisi karbon dioksida.

Telah banyak bukti ilmiah maupun bukti empirik yang menunjukkan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi
kelangsungan hidup kita. Para pemimpin, dari mulai level lokal hingga global, dituntut mampu menelurkan sejumlah kebijakan antisipatif jangka panjang untuk mengantisipasi setiap risiko bencana terkait pemanasan global dan perubahan iklim yang mungkin muncul di daerah mereka sehingga dapat meminimalisir jatuhnya korban dan kerugian yang lebih besar.

Baca juga:  Guru dan Teknologi Saat Pandemi COVID-19

Pada saat yang sama, kita semua perlu pula mulai membudayakan gaya hidup rendah karbon sebagai bagian dari investasi kita untuk menyelamatkan Bumi.
Pasalnya, gaya hidup tinggi karbon menjadi salah
satu faktor yang turut menyumbang terjadinya
pemanasan global.

Meminimalisir penggunaan pesawat udara, meminimalisir pemakaian kendaraan pribadi berbahan bakar fosil, melakukan efisiensi dalam pemakaian listrik, memperbanyak konsumsi makanan berbasis tumbuhan merupakan sejumlah langkah sederhana yang bisa kita lakukan dalam upaya ikut menurunkan emisi karbon.

Bagaimanapun, kita tidak boleh cuma diam.Kita semua memiliki kewajiban mewariskanBumi yang lebih bersih, lebih sehat, kepada anak cucu kita. Adalah kewajiban kita bersama saat ini untuk berkontribusi secara lebih nyata — sekecil apa pun kontribusi itu — dalam menjaga, merawat dan melindungi Bumi dari berbagai kerusakan yang bisa menimbulkan petaka bagi sebagian maupun seluruh penghuni Bumi ini.

Penulis adalah Kolumnis dan Bloger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *