I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Pada era milenia berbasis digital dan berorientasi material-kapital dewasa ini, tantangan terbesar yang dihadapi umat Hindu tidak lagi berkutat pada urusan
ritual berdasar paradogma (gugon tuwon), tetapi lebih pada kiat jengah mlajah merambah dan menjelajah dunia leilmuan dengan paradigma kekinian yang tak pernah berhenti berubah.

Tujuannya, agar umat Hindu tidak terus tertinggal
dalam mengimplementasikan teks ajaran Hindu
yang kaya konsep sesuai konteks perkembangan
dengan segala tuntutan dan tantangannya. Untuk itu, saat tibanya hari suci Saraswati, tidak boleh berhenti hanya sebagai peristiwa ritual rutin dengan menghaturkan banten Saraswati terhadap kumpulan buku, pustaka atau lontar.

Karena esensi “banten” sejatinya bermakna “baan
enten” — berdasarkan kesadaran, bukan cuma
sekadar persembahan “banten” (suba [sudah] mabanten), apalagi jikalau dirasakan sebagai “beban-teen”, menjadi beban dan tekanan. Sudah waktunya aktivitas ritual bergeser dari kepatuhan pada paradogma (anak mula keto) menjadi kegairahan berparadigma keilmuan, sekaligus menyinergikannya dengan kemajuan teknologi.

Baca juga:  Nyepi Bersamaan dengan Saraswati, Jam Pemadaman LPJU Disesuaikan

Sehingga konstruksi umat Hindu bersendikan Tri Kerangka Agama, tidak melulu hanya tampak bergairah pada tingkatan eufo-ritual, tetapi secara
simultan mengalami eskalasi ke arah peningkatan
pada tatanan perilaku berkesusilaan (behavioristik), dan penguatan kualitas pemahaman tattwa (filosofi-teologik), sekaligus berkemampuan mengartikulasikan dogma/doktrin ajaran Hindu
sebagai disiplin diri dalam mecermati, mengantisipasi serta menjawab fenomena, dinamika dan problematika kehidupan kontemporer.

Hal ini sejalan pemikiran William Robertson Smith (1846-1894), bahwa tahapan pikiran manusia memang bergerak bermula dari hal-hal yang
bersifat magis/magik (percaya kekuatan supra
natural), kemudian berkembang mengarah religik
(meyakini kekuatan adi kodrati/illahi), yang pada
akhirnya berhadapan pada realitas empirik — oleh
Auguste Comte (1798-1857) disebut positivistik.

Bahwa realita kehidupan dengan segala dinamika
dan berbagai fenomenanya adalah dunia nyata
yang oleh umat Hindu kekinian, tidak cukup
hanya disikapi lewat cara religio-magis dalam
bentuk praktik ritual yang sejatinya masih berada
di tataran simbolik ekspresif. Diperlukan kemampuan umat membangun koneksitas antara konsep keagamaan (rohani/jiwani) dengan konteks kehidupan sehari-hari (duniawi/materi).

Baca juga:  Cegah Kerumunan "Banyu Pinaruh," Pura Tirta Empul yang Tutup Dijaga Ketat

Bagaimana suatu keyakinan beragama dengan dominasi praktik ritualnya secara meyakinkan dapat menyugesti bahwa konsep yang dikandung di balik simbol dan maknanya senantiasa disertai tindakan real guna mengantarkan umat hidup sejahtera lahir (jagadhita) dan akhirnya mencapai obsesi moksa. Melalui ritual Saraswati diamanatkan, bahwa moment
hari suci turunnya ilmu pengetahuan ini menjadi semacam eskalakor yang terus bergerak timbal balik secara vertikal-horisontal, dari pengetahuan suci (paradogma) sebagaimana tersurat di dalam
kitab suci lalu mengejawantah ke dalam pengetahuan duniawi (paradigma).

Dewi Saraswati itu sendiri secara teologi-henotheistik digambarkan sebagai sosok wanita cantik dan menarik, menandakan ilmu pengetahuan itu selalu membangkitkan kerinduan untuk terus mencari, mengerti, memahami dan menghayati hingga melakoni amanat ajaran Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Mengacu pandangan Descartes: cogito ergo sum — aku berpikir maka aku ada, menyiratkan makna bahwa manusia dengan keunggulan daya pikir (idep) mampu berevolusi.

Baca juga:  Pilkada, Antara Ekonomi, Politik, dan Kesehatan

Bermula sebagai homo animal (manusia layaknya
hewan/binatang), meningkat menjadi homo sapiens (manusia cerdas), hingga menjelma sebagai sosok homo religius (manusia agamais). Sebagai manusia cerdas, dengan memungsikan otaknya manusia menjadi pemikir yang selalu memikirkan tentang segala sesuatu berkenaan dengan dirinya dan alam.

Lahirlah apa yang disebut dengan paradigma keilmuan, yang ternyata tidak bisa dilepaskan dari paradogma keagamaan yang dalam implementasinya meski paradoks namun penting disinergikan. Tepat sekali pernyataan Albert Einstein: science without religion is lame, religion without science is blind — ilmu tanpa agama lumpuh dan agama tanpa ilmu pengetahuan buta.

Relevansinya, sehebat dan sedahsyat apapun kecanggihan paradigma ilmu pengetahuan dengan teknologinya, jika tanpa dilandasi spirit keagamaan (paradogma), bisa membuta-lumpuhkan manusia dalam menerapkannya, sehingga bukan memperoleh nikmat manfaat dan selamat, melainkan bisa jadi tersesat. Begitupun sebaliknya, kehidupan beragama bila tidak didukung penguasaan ilmu pengetahuan (dan teknologi) tak akan ada kemajuan yang didapat.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *