I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Konstruksi keimanan umat Hindu dibangun atas tiga kerangka dasar; Tattwa (pondamen/inti/substansi kebenaran), Susila (komplemen/isiw/esensi kebaikan) dan Acara (ornamen/materi/elemen keindahan) yang lazim ditampilkan melalui praktik ritual yang dalam bahasa umum dikenal dengan sebutan sesaji/sesajen.

Umat Hindu di Bali lebih lumrah menyebut sesajen
dengan istilah upakara atau banten/bebanten.
Sesajen atau banten itu sendiri sejatinya adalah simbol suci (sakral), tidak sekadar rangkaian janur
dengan tambahan hiasan bunga, buah dan jajan
yang memang tampak bernilai estetis.

Menurut lontar Yadnya Prakerti, sesajen/banten itu memiliki banyak arti, di antaranya sebagai: simbol
diri kita –manusia (raganta tuwi), lambang aneka
kemahakuasaan Tuhan (warna rupaning Ida Bhatara) dan lambang alam semesta (andha bhuwana). Jadi, apa yang disebut sasajen/bebanten itu adalah bagian kuat dari kepercayaan, keyakinan dan atau keimanan umat Hindu, bahkan juga bagi sebagian masyarakat di luar Bali, meskipun mereka secara formal tergolong non-Hindu.

Dalam masyarakat Jawa dikenal ungkapan “nglakoni
tapi ora ngakoni”, melakukan tapi mereka tidak
mengakui secara keimanan. Ritual sesajen itu
hanya dikatakan sebagai bentuk tradisi, adat atau
kebiasaan turun temurun yang tidak mudah bagi
mereka meninggalkan begitu saja.

Baca juga:  Bung Karno, Pelopor Industri MICE

Apalagi secara historis-sosiologis, nenek moyang (leluhur) mereka pada awalnya juga penganut Hindu sebagai agama pertama/tertua di nusantara. Jika kemudian ada pihak atau oknum tertentu, entah atas nama pribadi maupun keyakinan agamanya menyatakan sesajen itu sebagai bentuk praktik tidak benar, berhala dan kemudian dengan sadar menendangnya, bahkan dengan sengaja merekam dalam video lalu mengunggah ke medsos hingga viral dan membuat gaduh di dunia maya, sesungguhnya perbuatannya tidak hanya mengusik, menyinggung tetapi sudah melukai rasa kebatinan mendalam bagi umat/masyarakat yang meyakininya.

Lebih dari itu juga mengandung unsur tindak pidana pelecehan, penodaan sekaligus sebagai bentuk perbuatan tidak menyenangkan hingga dapat memantik rasa permusuhan antar golongan, yang dalam konteks hukum sudah tentu ada undang-undang yang mengaturnya. Tidak salah jika kemudian,
selain organisasi umat/keagamaan Hindu, salah satu kelompok masyarakat seperti Perwakilan GP Ansor yang notabene berbasis Islam juga turut melaporkan pelaku dalam video tersebut ke pihak kepolisian dengan dugaan tindak pidana atas dasar pelanggaran pasal 156 KUHP tentang ujaran kebencian dan penghinaan terhadap suatu golongan.

Baca juga:  Peluang “Echo Boomers” untuk Cuan di Masa Pandemi

Selain dengan KUHP, oknum tersebut juga bisa dijerat dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, dengan ancaman hukuman penjara 6
tahun dan atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Hanya saja, sebagaimana seringkali terjadi, jika
tindak pidana semacam itu menimpa umat/agama
Hindu cenderung diselesaikan lewat selembar surat pernyataan/permintaan maaf di atas materai.

Namun jika hal itu terjadi di kalangan non-Hindu
dipastikan akan cepat ditangani hingga pelaku
berhasil dijebloskan ke balik terali bui. Pertanyaannya, apakah untuk kasus penendangan sesajen yang tergolong tindak pidana pelecehan, penodaan, termasuk mengandung unsur ujaran kebencian dan penghinaan terhadap suatu golongan ini berujung pada peradilan dengan vonis hukum penjara?

Hanya waktu yang bisa menjawab, sekaligus akan mencatat apakah kasus ini akan lewat begitu saja seperti nasib kasus serupa sebelumnya. Bila demikian ujung beritanya, di mana hukum belum menunjukkan
perlakukan yang adil pada semua golongan, maka tiada pilihan lain, Hindu lebih menyerahkan
“peradilannya” pada hukum karmaphala: ala gawe
ala tinemu, ayu kinardi ayu kapanggih — jahat
perbuatannya, keburukan didapat, kalau baik
dilakukan, kebaikan jugalah akan dinikmati.

Baca juga:  Dampak Pembebasan PHR bagi Bali

Serupa dengan pandangan Quraish Shihab, seorang ahli tafsir sekaligus mantan Menteri Agama Republik Indonesia, menanggapi peristiwa penendangan sesajen tersebut, lewat kanal YouTube yang diunggah 14 Januari 2022 menjelaskan: “tidak patut apabila kita memaki kepercayaan orang lain, apalagi menendangnya. Tidak apa-apa, nanti Tuhan yang akan menentukan di hari kemudian, apa pandangan Tuhan, keputusan Tuhan terhadap mereka”, ujarnya.

Satu hal patut diingat sekaligus dicatat, sejatinya amanat penting sebagai umat, bukan terletak pada persoalan apa yang tersurat (dalam teks), tetapi lebih penting lagi yang tersirat, dalam konteks kehidupan antar umat beragama yaitu menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan (agama) sebagai kodrat Tuhan guna membangun keindahan hidup dalam perbedaan dan kebersamaan.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *